Tidak langsung menyalakan lampu, aku pasti bengong. Berpikir
kosong, tanpa melakukan apa-apa setiap baru terbangun dari tidur. Masih tengah
malam, beragam mimpi aneh baru saja aku saksikan. Dari luar kesadaran,
terkadang aku mengigau. Sungguh, aku ingat beberapa kata terlontar begitu saja.
Seperti angin yang tak ingin ditangkap
peka.
Jemari seakan kokoh, padahal sedikit gemetar dengan
penuh tanda tanya. Menimbang-nimbang bayang, seakan-akan aku berada di ruang
kehampaan. Sumpah, aku bingung, mengapa mimpi yang datang tidak menyadarkan
keberadaanku. Sungguh jauh, sepi terasa di setiap terjaga. Sambaran halilintar
seolah begitu mulia memberi petuah.
“Hei kau! Siapa peduli dengan hari esok?” aku bertanya
tanpa ada yang menjawab.
Semakin sepi, seiring gemuruh hujan di luar jendela. Berkali-kali
kilat membantai gelap kamarku. Mulai aku ingat, kondisi kamar tidak jauh
berbeda dengan kapal karam. Letaknya bagai di tengah hamparan gurun, tandus,
penuh sesak dengan pasir. Berserakan kertas di mana-mana. Lantai berhias tiket
event yang aku ikuti dalam sebulan terakhir.
“Ada apa ini? Siapa yang percaya dengan keseharianku
yang keruh,” aku tak ingin menambah pertanyaan baru. Ruang tamu sepertinya
sudah menungguku untuk disapa. Sepi, tidak ada siapa-siapa. Beberapa lembar
koran sudah tertata rapi, tidak ada yang boleh menyentuh. Persetan! Aku ingin
ke kamar mandi, dari ventilasinya memercikan keringat langit.
Sungguh lebat hujan malam ini. aku berharap ada
butiran es di sela putaran angin yang porandakan rumah siang tadi. Oh, lama
sekali aku berpikir. Jatah lambung belum terisi, aku semakin enggan bergegas. Entah
kamar mandi atau ruang tamu, aku justru memilih kembali lelap sebelum subuh.
Kamis! Beri aku
kesempatan untuk hadiahkan hari..
Bandung, 11 Juni 2014
0 komentar