Desus Pengalaman Malam

By Unknown - 2:15 am

Kelam yang belum jauh berbeda, malam-malam terlewati masih dalam pengharapan. Dengan semesta, aku ingin merasakannya lebih dekat. Gedung-gedung yang menutupi pandangku seakan membuat organ semakin gemetar. Tidak terlalu tinggi yang sudah aku capai, meskipun syukur kian lebih setiap menatap langit. Aku terlampau bermimpi, kini posisi telah kembalikanku ke tempat yang lebih dasar.
Kau tahu, Kawan? Aku harus kembali memulai. Tentang jalan yang pernah ditempuh, seakan-akan hanyalah trial yang bermasa. Sekarang malah lebih sulit, tanpa setitik angka aku harus bisa bertahan. Malah melebihi profesiku saat ini, sebagai karyawan perusahaan waktu, penulis coretan gundah, dan juga jurnalis kehidupan.
Rasanya kian banyak yang menumpuk, tanpa satu pun yang membuahkan hasil. Sekali lagi, aku selalu mencoba untuk bisa bersyukur. Sandaran-sandaran sepertiga malam pun kerap aku temukan. Namun.. sudahlah, aku tidak ingin mengeluh. Tidak ingin juga aku menjadi serakah. Maka sebaiknya, aku berbalik haluan ke sebuah pengalaman malam. Tidak pula aku tahu, harus berbagi cerita ini kepada siapa.
Entah mengapa, sebenarnya bukan tentang perempuan yang ingin disampaikan. Ratapanku tentu lebih jauh dari warna-warna percintaan semacam itu. Rasanya konyol, tidak lebih dari sekedar hiburan dari sebelumnya. Akan tetapi, kau tahu, kan? Aku selalu mencari nara sumber yang bisa diajak bergurau. Sebab kenyataannya, pekerjaanku sudah cukup membuat kepahitan kian berat dipikul. Dan entah mengapa pula, ada catatan yang membuat aku memikirkannya hingga saat ini.
Tiga, atau dua pekan yang lalu, aku dikenalkan kepada seorang kader dari salah satu partai politik untuk pemilu kali ini. Bukan hanya itu, ia juga seorang pengusaha, dosen, sekaligus mencangkup sebagai pejabat kelurahan di tempat aku bermukim sekarang. Jangan tanyakan mengapa ia sekarang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sebabnya alasannya adalah rahasia kami.
Malam itu, kita berbincang panjang lebar hingga lupa waktu. Mulai dari politik, hukum, sejarah, serta penunjang karirku dibidang jurnalistik. Kebetulan, dirinya adalah dosennya para wartawan di tempat ia mengajar sastra. Sekarang, doi juga sedang menempuh S3 di universitas itu pula. Ah, terlalu panjang mengenainya, belum lagi tentang pengalaman yang dibaginya selama di Sumatera Selatan, berguru editor film di Yogyakarta, serta leluconnya yang terkadang menyinggungku.
Satu pesan yang disampaikan sebelum pertemuan kami malam itu berakhir bersama janjinya meminjamkan aku sebuah buku. Pertama bukan untuk aku, tetapi kepada orang yang memperkenalkanku padanya. Orang yang sudah sangat mempercayaiku. Ah, entahlah, meskipun mengunakan bahasa Sunda, aku masih mengerti.
“Hati-hati dengan orang terdekat, karena cuma dia yang bisa mengkhianati,” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Aku hanya tersenyum, cengir seakan-akan tidak paham maksud dari bahasa Sunda yang sampaikannya itu. Maka untuk sekedar menunjukan rasa tersinggung, aku pun bertanya arti pada orang yang saat ini sangat aku hormati itu.
“Katanya, kamu itu orangnya aneh,” jawab orang yang aku hormati.
Lagi-lagi aku hanya bisa cengir, seakan-akan memang membenarkan maksudnya begitu. Terus terang, mulai saat itu, perasaanku semakin cemas jika hal terburuk terjadi. Tetapi ya sudahlah, aku memang tidak berdaya untuk membantah. Terpenting, hal itu lebih bisa membuatku menjaga hati, diri, , waspada, dan melawan bujuk rayu setan yang menyesatkan. Sebuah pernyataan dari seseorang saat pertama kalinya aku menginjak tanah Sunda, akhirnya pun terbukti. Bahwa... bla... bla... bla... aib orang, biarlah pelit aku berbagi.
Di sela-sela tawa kami bersama, dalam hatiku menyimpan perasaan berbagai duga. Apa yang salah dengan diriku? Salahkah jika orang mempercayaiku? Setiap ada kebaikan yang aku terima, kesekian kali pula aku berpikir serta menimbang-nimbang. Hal macam apa ini? Aku dibuat berlalu tanpa sedikit pun syair semangat.
Ya, seperti itulah, desas-desus pengalaman malam itu. Canggung, sebab aku tidak pandai bercerita nasib. Walaupun di akhir perjumpaan, sang Caleg berpesan agar di belakangku harus segera ada wanita. Sebab itulah yang membuktikan kesuksesan kaum lelaki. Pada dasarnya, aku pun ingin membantah, sebagai hiburan, dan belum tentu bisa memacu hidup ke arah yang lebih baik. Tapi dia lebih terhormat, aku tidak berani membantah. Ya sudahlah, aku hanya bisa terbahak dengan menahan batinku yang sudah tidak bersemangat lagi.  []

Bandung, 04/04/2014 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar