Kelam yang belum jauh berbeda, malam-malam terlewati masih
dalam pengharapan. Dengan semesta, aku ingin merasakannya lebih dekat.
Gedung-gedung yang menutupi pandangku seakan membuat organ semakin gemetar. Tidak
terlalu tinggi yang sudah aku capai, meskipun syukur kian lebih setiap menatap
langit. Aku terlampau bermimpi, kini posisi telah kembalikanku ke tempat yang
lebih dasar.
Kau tahu, Kawan? Aku harus kembali memulai. Tentang jalan
yang pernah ditempuh, seakan-akan hanyalah trial yang bermasa. Sekarang malah
lebih sulit, tanpa setitik angka aku harus bisa bertahan. Malah melebihi
profesiku saat ini, sebagai karyawan perusahaan waktu, penulis coretan gundah,
dan juga jurnalis kehidupan.
Rasanya kian banyak yang menumpuk, tanpa satu pun yang
membuahkan hasil. Sekali lagi, aku selalu mencoba untuk bisa bersyukur. Sandaran-sandaran
sepertiga malam pun kerap aku temukan. Namun.. sudahlah, aku tidak ingin mengeluh.
Tidak ingin juga aku menjadi serakah. Maka sebaiknya, aku berbalik haluan ke
sebuah pengalaman malam. Tidak pula aku tahu, harus berbagi cerita ini kepada
siapa.
Entah mengapa, sebenarnya bukan tentang perempuan yang ingin
disampaikan. Ratapanku tentu lebih jauh dari warna-warna percintaan semacam
itu. Rasanya konyol, tidak lebih dari sekedar hiburan dari sebelumnya. Akan tetapi,
kau tahu, kan? Aku selalu mencari nara sumber yang bisa diajak bergurau. Sebab kenyataannya,
pekerjaanku sudah cukup membuat kepahitan kian berat dipikul. Dan entah mengapa
pula, ada catatan yang membuat aku memikirkannya hingga saat ini.
Tiga, atau dua pekan yang lalu, aku dikenalkan kepada
seorang kader dari salah satu partai politik untuk pemilu kali ini. Bukan hanya
itu, ia juga seorang pengusaha, dosen, sekaligus mencangkup sebagai pejabat
kelurahan di tempat aku bermukim sekarang. Jangan tanyakan mengapa ia sekarang
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sebabnya alasannya adalah rahasia
kami.
Malam itu, kita berbincang panjang lebar hingga lupa waktu. Mulai
dari politik, hukum, sejarah, serta penunjang karirku dibidang jurnalistik. Kebetulan,
dirinya adalah dosennya para wartawan di tempat ia mengajar sastra. Sekarang,
doi juga sedang menempuh S3 di universitas itu pula. Ah, terlalu panjang
mengenainya, belum lagi tentang pengalaman yang dibaginya selama di Sumatera
Selatan, berguru editor film di Yogyakarta, serta leluconnya yang terkadang
menyinggungku.
Satu pesan yang disampaikan sebelum pertemuan kami malam itu
berakhir bersama janjinya meminjamkan aku sebuah buku. Pertama bukan untuk aku,
tetapi kepada orang yang memperkenalkanku padanya. Orang yang sudah sangat
mempercayaiku. Ah, entahlah, meskipun mengunakan bahasa Sunda, aku masih
mengerti.
“Hati-hati dengan orang terdekat, karena cuma dia yang bisa
mengkhianati,” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Aku hanya tersenyum, cengir seakan-akan tidak paham maksud
dari bahasa Sunda yang sampaikannya itu. Maka untuk sekedar menunjukan rasa
tersinggung, aku pun bertanya arti pada orang yang saat ini sangat aku hormati
itu.
“Katanya, kamu itu orangnya aneh,” jawab orang yang aku
hormati.
Lagi-lagi aku hanya bisa cengir, seakan-akan memang
membenarkan maksudnya begitu. Terus terang, mulai saat itu, perasaanku semakin
cemas jika hal terburuk terjadi. Tetapi ya sudahlah, aku memang tidak berdaya
untuk membantah. Terpenting, hal itu lebih bisa membuatku menjaga hati, diri, ,
waspada, dan melawan bujuk rayu setan yang menyesatkan. Sebuah pernyataan dari
seseorang saat pertama kalinya aku menginjak tanah Sunda, akhirnya pun
terbukti. Bahwa... bla... bla... bla... aib orang, biarlah pelit aku berbagi.
Di sela-sela tawa kami bersama, dalam hatiku menyimpan
perasaan berbagai duga. Apa yang salah dengan diriku? Salahkah jika orang
mempercayaiku? Setiap ada kebaikan yang aku terima, kesekian kali pula aku
berpikir serta menimbang-nimbang. Hal macam apa ini? Aku dibuat berlalu tanpa
sedikit pun syair semangat.
Ya, seperti itulah, desas-desus pengalaman malam itu. Canggung,
sebab aku tidak pandai bercerita nasib. Walaupun di akhir perjumpaan, sang
Caleg berpesan agar di belakangku harus segera ada wanita. Sebab itulah yang
membuktikan kesuksesan kaum lelaki. Pada dasarnya, aku pun ingin membantah,
sebagai hiburan, dan belum tentu bisa memacu hidup ke arah yang lebih baik. Tapi
dia lebih terhormat, aku tidak berani membantah. Ya sudahlah, aku hanya bisa
terbahak dengan menahan batinku yang sudah tidak bersemangat lagi. []
Bandung, 04/04/2014
0 komentar