Seraya
menunggu umpan pancing disentuh ikan, Baba mengisi waktunya dengan bernyanyi. Biarpun
suaranya tidak lebih merdu dari mesin diesel. Namun vokal Baba sudah cukup membuat
permukaan sungai riuh dengan makhluk-makhluk air yang berunjuk rasa. Mereka
menuntut kebijakan lurah agar segera membangun pabrik kimia di pinggir sungai.
Bagi
makhluk-makhluk air itu, lebih baik mati meminum limbah kimia daripada harus
mendengar nyanyian Baba. Namun sayang, saat itu lurah sedang sibuk mengurus
e-KTP di kantor kecamatan. Maka kepala suku makhluk air pun terpaksa memilih
salah satu demonstran untuk menjadi tumbal di kail pancingan Baba. Dan akhirnya,
nahas berpihak pada seekor ubur-ubur, ia terpilih sebagai tumbal secara independen.
“Wah,
akhir dapat juga!” Seru Baba sembari menggulung katrol pacingannya yang terasa
dihentak.
Ubur-ubur
yang dari awal menolak menjadi tumbal, masih saja berusaha menyelamatkan diri.
Walaupun saat itu, lengkungan kail sudah tertancap keras di lehernya. Ia terus
meronta dan berteriak sambil mengibarkan bendera merah yang berpampang wajah
Cheh Guevara.
“Kami
butuh keadilan! Stop global warming! Save earth! Hidup revolusi dunia air!” Sorak
ubur-ubur sembari mengumpal tangan pada rekan-rekan sebangsanya.
Baba
yang tidak mengerti soal revolusi, apalagi global warming pun semakin bersemangat
mengulung katrol. Pikirnya ini adalah tangkapan yang besar, karena sensasi strike yang dialami Baba sudah seperti sedang
ber-wakeboard ria di Bali.
“Luar
biasa! Mantap!” Takjub Baba mengancungkan jempol.
Setelah
sekian lama mengulung-ulur benang. Akhirnya tampaklah kail yang sedang menyeret
paksa seekor ubur-ubur yang mirip kantung plastik berlendir. Seketika itu juga
batinnya melemas, seolah rasanya seperti diberi harapan palsu. Maka dengan
penuh kecewa, Baba pun menghentak jorannya ke udara.
“Hoop!
Ubur-ubur jahanam! Berani sekali kau mempermainkanku!” Geram Baba ketika
melihat hasil pancingannya.
“Woi!
Kau yang lebih jahanam! Kau telah melecehkanku!” Bantah ubur-ubur yang tak
terima disalahkan.
Sontak
Baba terkejut, baru kali ini ia melihat seekor ubur-ubur yang bisa berbicara.
Batinnya bertanya-tanya, ini ubur-ubur atau Squidward tetangganya Spongebob.
Soalnya, ubur-ubur ini mempunyai hidung menyerupai belalai gajah.
“Siapa
kau? Kenapa pula bisa bicara?” Tanya Baba heran.
“Ah,
macem nggak pernah nonton Indosiar saja kau.” Sahut ubur-ubur mencoba merendah.
“Sumpah,
serius! Siapa kau? Apakah kau berasal dari Bikini Bottom? ” Baba semakin
penasaran dan sok tahu.
“Bah!
Tahu Bikini Bottom juga nya kau. Itu kan tempat lahirku.” Jawab ubur-ubur
sambil menyodorkan KTP untuk meyakinkan Baba.
“Halah!
Siapa pun kau, tetap saja kau telah membuatku kecewa. Sudah seharian aku
memancing, masa hanya dapat ubur-ubur aneh sepertimu.” Keluh Baba yang merasa sedih
dan kesal.
Kemudian
perlahan Baba termenung di pinggir sungai, sambil meratapi rejekinya yang sudah
mulai surut dari hari ke hari. Wajahnya yang lebih jelek dari Abu Jahal,
semakin menglengkapi derita hidupnya yang di bawah garis kemiskinan. Cita-citanya
yang ingin meminang anak Pak Camat pun seakan hanya sebatas angan-angannya
ketika buang air besar. Sungguh, itu membuat ubur-ubur ajaib tersebut merasa iba,
walaupun ia sedikit tersinggung karena dikatain aneh.
“Sudahlah,
jangan bersedih. Dunia akan lebih bermakna jika kau bersyukur.” Nasehat ubur-ubur
mencoba menghibur.
“Heh,
bengak! Kau hanya ubur-ubur sial yang disengat kail pancingku. Jadi, jangan sok
bijak lah!” Cetus Baba yang mulai tak senang diceramahi makhluk serendah
ubur-ubur.
Mendengar
itu, ubur-ubur terdiam sejenak. Sepertinya Baba membutuhkan seorang motivator
selevel Mario Teguh. Namun sayang, ubur-ubur lupa menge-save nomor Pak Mario ketika menghadiri Golden Ways di negeri air. Maka
tanpa pikir panjang, ia pun meraih sesuatu dari saku yang terdapat di dadanya.
“Ini,
bacalah! Baca! Kau akan lebih menghargai arti hidup.” Seru ubur-ubur sembari
menyodorkan buku karangan Merry Riana yang didapatnya dari hadiah lotre di
snack Chiki.
“Idih!
Kau suruh pula aku baca buku begituan. Baca SMS saja kadang aku malas.” Ucap Baba
dengan sedkit angkuh.
Karena
merasa kurang dihargai, ubur-ubur akhirnya beranjak dari hadapan Baba.
Langkahnya yang pelan lantaran ubur-ubur tak berkaki, menyulut geram Baba
memuncak. Seakan risih dengan gerak lamban bak suster ngesot. Akhirnya Baba
bangkit lalu menendang si ubur-ubur hingga kembali lagi ke dalam sungai. Namun,
mendadak bumi bergetar, air sungai menguncang seakan badai. Gumpalan awan hitam
pun ikut menutupi langit-langit.
“Duaaaaar!
Gerudummm!”
Seluruh
daratan rata dengan air, kecuali perahu Baba yang berubah menjadi pulau. Kini
tempat itu dikenal dengan ‘Danau Baba’ dan pulau di tengahnya ‘Pulau Grosir’.
Nama grosir sendiri diambil dari bahasa penduduk setempat yang berarti ‘kutukan’.
0 komentar