Jejak Rihlah Brayeun : Aku, Dia Dan Mereka

By Unknown - 9:58 pm


Minggu, 19 Mei 2013
Sekitar jam 7 pagi, aku dikagetkan dengan beberapa telpon yang tidak terduga. Pertama dari pemilik nama Oja El Syufa yang bertanya soal transportasi berjenis labi-labi (angkot). Secara spontan, aku langsung didera kebingungan yang cukup mendalam. Sebenarnya aku ini pegawai dinas perhubungan atau anggota FLP yang akan mengikuti rihlah ke Brayeun? Masalahnya, saat itu aku masih dalam keadaan setengah sadar kerena pengaruh mimpi menjadi pejuang intifada di Palestina. Dan akhirnya pun aku kembali lanjut bermimpi dengan judul, kebingungan di kala fajar.
Selang beberapa saat, suara handphone kembali merobek lembaran mimpiku. Kali ini datang dari seorang atlet basket beralmamater SMAN 1 Langsa, Aslan Saputra. Saat itu, Aslan sukses membuatku kalang kabut dengan mengatakan dirinya sudah berdiri di hadapan pintu rumah. Jerit-jerit keponakanku juga turut memeriahkan kedatangan Aslan tersebut. Aku yang masih di dalam kehangatan selimut pun terhentak dari mimpi-mimpi fajar.
“Aslan, tunggu bentar ya,”
“Iya, Bang. Mandi-mandilah sana,”
Sembari menungguku mandi, ia menikmati secangkir teh hangat dan beberapa potong kue sebagai sarapan pagi. Tanpa perlu lama, aku sudah terbiasa dengan mandi ala militer pun hanya membutuhkan waktu yang tak sampai 5 menit untuk siap. Segala perlengkapan rihlah juga sukses kukemas secara kilat. Hanya membawa baju, celana training, hingga beberapa alat hiburan seperti buku dan MP3 Player.
Sepanjang jalan menuju Rumcay, kami habiskan lika liku perjalanan dengan kisah-kisah inspiratif versi kami masing-masing. Aslan yang bercerita, aku menyimak. Giliran aku berkisah, ia pun mendengar dengan penuh keyakinan. Begitulah yang terjadi hingga kami tiba di Rumcay.
Sesampainya di Rumcay, aku langsung menatap wajah-wajah yang  sudah tidak sabar untuk segera melangkah ke Brayeun. Di antaranya ada Dara, Nuurul Husna, Zahraton Nawra dan beberapa teman-teman muslimah lainnya di FLP Aceh. Karena merasa belum cukup sadar untuk menikmati suasana pagi, aku pun menuju warkop favorit yang terletak tepat di depan gang menuju Rumcay. Maklum, minggu, 19 Mei 2013, adalah untuk pertama kalinya aku bangun di bawah jam 8 selama bulan Mei.
Ketika sedang asyik menikmati secangkir kopi sambil membaca berita pagi, Aslan datang menemuiku di warkop. Katanya, labi-labi akan datang sebentar lagi. Sontak, aku teringat Reza yang belum tampak batang hidungnya dari tadi. Ke mana dia? Kenapa belum datang? Aku pun langsung menghubunginya. Namun gagal, telponnya tak terjawab.
“Gimana Bang? Datang Bang Reza?” tanya Aslan.
“Nggak tau ni, kayak masih tidur dia,”
Sudahlah, aku tidak menghubunginya lagi. Kembali aku lanjut baca koran. Tidak lama, labi-labi hitam datang dan langsung berhenti di depan Rumcay. Aku segera bergegas dari warkop  menuju Rumcay. Ternyata di sana sudah ramai, sekitar sepuluh ribu orang. Eh, sepertinya aku merasakan hawa yang berbeda saat berada di depan Rumcay. Seolah ada aroma khas rawa Tibang berkolaborasi dengan sungai Deli.
Ya, sudah lama aku tidak melihatnya. Si Dodoy, ia baru pulang dari acara TFT di Medan. Hahaha, saat pertama melihatnya kembali di Rumcay, aku langsung teringat dengan cerita Dara saat perjalanan mereka ke Medan. :D (sumpah, sampai sekarang aku ngekeh ala Om Jin mengenang cerita Dara tentang nahasnya Doni di bus New Pelangi)
Semua sudah berkumpul, saatnya berangkat ke Brayeun. Tetapi aku kembali teringat soal Reza yang masih alpa. Segera aku menghubunginnya untuk kesekian kali lagi. Syukur, ia menjawab telponku. Katanya, ia sedang dalam perjalanan menuju Rumcay. Hanya menunggu sebentar, Reza tiba dan kami pun berangkat rihlah ke Brayeun.
***
Air yang mengalir sejernih embun fajar Zahra, seakan rasioku terbang ke sungai Niagara di Ontario. Keindahan alam yang sukar diceritakan dalam kata-kata Tiara, bahkan lebih indah dari ia yang tampak cantik di pinggir sungainya. Oh Brayeun, kau membuatku mencium batu-batu di tepi aliran beningmu. Sial! Aku terpeleset saat pertama menginjak dinginnya airmu, Brayeun!
Itulah kejadian pertama yang paling aku benci di acara rihlah kemarin. Lumut-lumutnya tidak seramah penjaga pondok-pondok kecil di tepi sungai. Bungkusan nasi untuk makan siang kami hampir dicuri oleh si Brayeun, untung saja aku cepat mengambilnya kembali. Sebagai gantinya, perlengkapanku di dalam tas basah. Tiket muktamar khilafah dan lembaran berkas-berkas pentingku dibuatnya seperti muntah alien.
Sembari menahan sakit dan malu, aku mengarungi sungai sambil menenteng sandal. Nasi untuk makan siang aku titipkan pada Riri yang ada di belakangku saat tragedi itu terjadi. Ah, aku jera membawa barang-barang di atas 2 Kg. Apalagi sambil berjalan di atas dasar sungai yang sama sekali tidak ‘welcome’ terhadap tamunya itu. Dan terakhir aku tahu, bukan aku saja yang mengalami hal sedemikian kejam, ada Nuurul, Junaidah dan tamu-tamu lainnya yang didera nahas sepertiku. Kawan, biar Tuhan yang membalas lumut-lumut alien itu.
Sesampai di seberang, beberapa orang yang kutemui sepertinya cukup menikmati deritaku. Ah, barangkali mereka belum menemukan hiburan yang lebih kece dari Riri yang membawa laptop ke Brayeun. Hahaha, sepertinya Riri berencana meng-update status tentang keindahan sungai dan prasasti kuno yang ada di dasarnya. Tapi sayang, jaringan wifi id masih cukup segan dengan lumut-lumut alien itu.
Doni yang menyambutku di seberang sungai langsung memberi komentar mengenai kekejaman tersebut.
“Hahaha, kenapa kau?”
“F*** OFF!” jawabku yang mulai tidak nyaman berada di sana.
Kemudian Dara juga datang mencoba menghiburku.
“Aduh Bang, Abang nggak apa-apa kan?”
“Iya, biasa aja,” sautku sambil menahan sakit di bagian siku.
Lalu Siti juga turut mengomentari soal yang sama.
“Bang Aril, nasinya nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa,”
Saat itu, aku merasa butuh tempat untuk melakukan ritual menyan yang dipercaya penganutnya bisa menimbulkan sensasi nyaman terhadap tempat asing. Di antara teman-teman FLP, hanya Doni dan Reza yang aku tahu menganut ritual tersebut. Maka aku mengajak mereka melakukan ritual menyan di suatu tempat. Dan mereka pun setuju, tempat yang kami pilih pun cukup mendukung untuk upacara kami.
Azan zuhur berkumandang, ritual menyan pun sukses kami selesaikan. Lalu kami bergegas mencari tempat wudhu terdekat. Di dalam pencarian tempat wudhu, kami juga bertemu dengan teman-teman rihlah FLP lain yang juga bertujuan sama. Ada Aslan, Muarif, Ustad Hilal, Munawar dan lainnya. Kami mengelilingi Brayeun hingga hampir menembus Aceh Tengah, namun akhirnya kami menemukan tempat wudhu di area parkir.
Beberapa orang terlihat sedang mengantri menunggu giliran. Tidak lama, giliran kami pun tiba. Aslan yang diawali namanya dengan huruf abjad ‘A’ terpilih menjadi orang pertama untuk berwudhu. Tetapi, kami semua tercengang dengan peraturan Ibu yang menjaga tempat itu.
“Dek, bayar dulu 2000 /org. Air ini kami timba dari sungai,”
“Apa-apaan ini? Dulu aku pernah memakai air dari keran di halaman gereja, tapi tidak dipungut biaya. Ini yang pejaganya berjilbab, malah mencari keuntungan di saat orang mencari pahala,” gumam batinku yang merasa tersinggung dengan peraturan tersebut.
Kami pun beranjak pergi dari sana. Air sungai terbentang gagah di sebelah jalan, ngapain juga kami harus membayar untuk berwudhu di tempat harus bayar. Masuk ke lokasi wisata saja aku sudah merogoh kocek 27 ribu untuk 2 motor dan 1 labi-labi. Masa giliran kami mau beribadah harus membayar lagi, belum lagi parkir. Huh, Brayeun memang kejam, kawan!
Aku, Doni dan Reza memilih berwudhu di posisi tempatku nahas. Sedangkan Aslan, Ustad Hilal, Muarif dan lainnya sudah terpisah dari kami, selepas kesal dengan peraturan wudhu berbayar. Setelah wudhu, kami kembali kebingungan mencari tempat untuk salat. Semua pondok penuh, surau-surau kecilnya pun tidak menyisakan sedikit ruang untuk kami sembahyang.
Pikiranku langsung tertuju dengan karpet baru di Rumcay yang kebetulan juga kami bawa ke sini. Maka aku mengusulkan Reza untuk membentangkan karpet tersebut di pinggir sungai sebagai tempat untuk kami salat. Sungguh, aku merasa seperti mujahidin yang salat berjamaah di medan Afganistan. Terik matahari semakin menyerupai suhu di sana, dan riuh hiruk pikuk di sekeliling cukup untuk menyamai susana di medan perang. *T-O-P-B-G-T!
Seusai salat, aku dan Reza sudah tidak sabar untuk mencemplungkan tubuh ke dalam kebeningan air sungai. Dan ternyata Doni juga memiliki hasrat yang sama, maka kami bertiga langsung bercembur ria ke sungai dengan penuh kegembiraan. Kami sudah seperti anak suku Zikauwe yang tinggal di tengah-tengah gurun Sahara yang jarang sekali melihat air. Aku rasa, jika suku Zikauwe itu datang ke Brayeun, pasti mereka tidak jauh beda dari Reza dan Doni. :D *tidak denganku, beda kasta
“Woi, sini! Kita main game,” teriak Husna Ay dari pinggir sungai memecahkan kegembiraan kami.
Kami bertiga pura-pura tidak mendengar, hingga Husna Ay pun mendadak naik pitam.
“Aril, Doni, Reza! Kembali ke sini, cepat!” suara teriakan Husna Ay lebih keras dari pertama sambil menggenggam batu sebesar semangka 5 Kg.
Kami benar-benar berkeringat di dalam air, akhirnya aku yang pertama kembali. Doni dan Reza pun menyusul di belakangku. Sesampainya di pinggir sungai, seluruh anggota FLP yang ikut rihlah dibagikan 2 balon per jiwa. Awalnya aku hanya terima-terima saja, sambil meniup-niup pelan balon itu. Halah, aku tidak bisa meniup balon. Aah, aku tidak berani meniup balon. Bagiku balon adalah benda kramat yang tidak boleh ditiup...
Sudah, cukup! Aku tidak berani dan tidak bisa meniup balon. Kawan, aku phobia terhadap terhadap balon yang sudah terisi udara, apalagi segede balon-balon yang sukses meledak di bibir kawan-kawan kemarin. Halah, andai saja semua balon-balon segede itu didekatkan ke arahku kemarin, aku pasti sudah nangis teriak-teriak minta pulang.   :( *tolong, mohon jangan dipraktek. Aku sudah jujur..
Setelah game yang aneh itu selesai. Aku melihat Ustad Hilal, Muarif dan Aslan sedang bersenang-senang di atas perahu karet. Sontak jiwaku terpanggil untuk ikut bersama mereka mengarungi sungai Brayeun yang sejuk, seperti di film Pirates of the Caribbean. Pertualanganku pun dimulai dengan berenang menuju perahu itu dan naik ke atasnya.
Dengan susah payah aku naik ke atas perahu, tetapi di tengah-tengah sungai beberapa awak perahu mencoba menjatuhkanku ke dalam sungai. Seolah mereka ingin membuktikan tentang kisah seorang anak yang beku jasadnya karena tenggelam ke dasar sungai itu.
Sunnguh, itu sama sekali tidak lucu! Tapi andai saja ada orang selain aku yang jadi tumbal untuk pembuktian itu, mungkin itu akan lebih menarik. Dan aku yang paling semangat dalam pembuktian tentang bekunya jasad di dasar sungai tersebut.
Berkali-kali aku menelan air melalui hidung, otot-ototku juga sudah keram dibuat mereka. Sudah saatnya kembali ke daratan untuk makan siang. Perutku juga sudah berdering dari tadi. Seampainya di darat, aku pun langsung mengambil sebungkus nasi, lalu makan bersama Aslan, Muarif, Riri dan Munawar.
Setiap sesuap nasi yang kutelan, aku menikmati pemandangan Brayeun yang indah. Benar-benar luar biasa makan siang di pinggir sungai bersama teman-teman FLP. Tetapi tiba-tiba suara tepat di hadapanku, membuat kurisih.
“Modus! Modus!”
Haduuh, itu anak ngapain juga teriak-teriak di depanku. Maksudnya pun tidak jelas, antara buat lucu dan sakit jiwa. Lain lagi dengan Reza, ia tiba-tiba berbisik pakai bahasa Persia soal sindrom yang didera temannya Doni yang di hadapanku tersebut. Sudahlah, aku memaklumi saja. Kasian juga dia, kabarnya pun penyakit itu sudah tumbuh sejak ia pertamakali datang ke bumi. Dasar alien ubur-ubur yang aneh.
Berbagai keanehan, pertualangan, permainan, kegembiraan, kesedihan hingga aku lemas seakan mau deman menjelang pulang. Badanku mendadak panas, maka pada saat pulang aku naik labi-labi agar lebih nyaman. Walaupun lajunya persis dengan namanya “Labi-labi : kura-kura”, kami tiba di Rumcay dengan selamat.
***
Saat semua sibuk mengeluarkan motor dari Rumcay, aku justru sibuk mencari kunci motorku yang hilang. Satu per satu mereka pulang, tinggal beberapa orang saja memilih salat asar di Rumcay. Aslan, Doni, Dara, Riri dan Munawar. Setelah salat aku dan Doni kembali melakukan ritual menyan di warkop favorit depan gang. Kami juga sempat menyinggung tentang dunia tulis menulis dan juga solusi kegalauan Doni soal laptopnya sudah hampir menemui ajal.
Ketika sedang khusyuk melakukan upacara, tidak sengaja aku melihat recent updates di BBM. Lalu mataku mencermat ke sebuah kalimat di PM Kak Riza, Aku bukan nggak bisa berenang, tapi kakiku yang nggak sampai ke dasar sungai. Seperti tidak asing dengan kata-kata itu, seakan kalimat tersebut pernah dihimpit oleh bibirku. Aku mulai curiga dengan beberapa makhluk yang masih di Rumcay saat itu.
Tidak lama, Doni pun mengajakku kembali ke Rumcay. Ternyata benar, Kak Riza ada di sana bersama Aslan, Dara, Riri dan Munawar. Mereka memang sedang membahas masalah kejadian seru dan aneh di Brayeun tadi. Saat itu, aku memilih diam karena fisikku benar-benar sudah lemas, mariang bahkan demam.
Dan akhirnya diketahui, kunci motorku terbawa di tas Reza yang sudah sampai di rumahnya. Maka aku terpaksa menunggu Reza kembali ke Rumcay hingga azan isya. Sembari menunggunya, aku, Aslan dan Doni membelah semangka sisa rihlah sebagai makan malam. Setelah itu, kami menghabiskan waktu malam di Haba Kupi hingga dini hari.

Banda Aceh, 20 Mei 2013

  • Share:

You Might Also Like

10 komentar

  1. Wow-wow.... cermat kali penulisannya bg.. haha :D

    tulisan ini keren. detailnya di deskripsikan dengan mantap. Aslan paling suka bagian ini,

    Air yang mengalir sejernih embun fajar Zahra, seakan rasioku terbang ke sungai Niagara di Ontario. Keindahan alam yang sukar diceritakan dalam kata-kata Tiara, bahkan lebih indah dari ia yang tampak cantik di pinggir sungainya. Oh Brayeun, kau membuatku mencium batu-batu di tepi aliran beningmu. Sial! Aku terpeleset saat pertama menginjak dinginnya airmu, Brayeun!

    cara Abang menjelaskan proses jatuh itu diwarnai dengan deskripsi tempat yang penuh diksi. keren-keren!

    ReplyDelete
  2. huahaha, :v
    sebenarnya aku bingung mau nulis apa dari semalam..
    jadinya aku nulis berantakan gitu..

    mau di edit tadi sebelum posting, cuma udah malas..
    saket semua badan aku gara-gara kecapean..

    ReplyDelete
  3. Iya bg.. aslan bangun pagi juga sakit-sakit semua badan. Baru sadar kalo udah lama gak olahraga. hoho

    ReplyDelete
  4. itu lah..

    yang pas minum jamu cap monyet ni.. :D

    ReplyDelete
  5. teman-teman musslimah maksudnya gimana zri? cak jelasin dulu,,,

    Ah modus modus itu hanyalah seuntai kata sakit jiwanya.. Ogah bahas lagi,,, Yang penting aku telah mendayung boat karet itu dalam kemesraan yang semu.

    ReplyDelete
  6. keren kali tulisan dek ariel ni lah..
    rapi kali ahh...
    sering baca Nationa Geogralphic ya?

    ReplyDelete
  7. Doni : hahaha, aku ikut bahagia kalo kau senang :D , judulnya "Kayuhan Mesra Sampan Karet" (y)

    Bang ferhat : apanya keren bang? berantakan gitu -_-"
    eh, kok tau abang? tapi cuma national geographic id yang sering dibaca.. klo national geographic luar cuma liat2 gambar sama videonya aja..

    ReplyDelete
  8. secara tidak langsung bang nazri mengatakan bahwa bang doni alien. Hahahahahahaaa,..
    Tulisan ini benar-benar keren.saya kagum dan salut dengan bang nazri.. Menjiwai kali dalam setiap tulisannya..

    ReplyDelete
  9. whahaha :D

    salah.. salaah!
    Bukan Doni ee yang alien..
    temannya doni yang aneh itu yang ab maksud alien ubur-ubur.. :D

    ReplyDelete
  10. Oh,.. kawannya bang doni. Kirain bang doni.ckckckckckk..
    :D

    ReplyDelete