Aku menulis bukan karena aku merasa masih muda, tapi justru karena aku sadar aku sudah tidak muda lagi. Di masa ketika blog adalah rumah bagi pikiran-pikiran yang tak muat di kepala, aku dulu datang hampir setiap malam — membawa patah hati, ide liar, atau sekadar kegelisahan tentang hidup yang belum selesai. Sekarang, blog terlihat seperti rumah tua yang pintunya mulai berkarat, ditinggalkan pemiliknya demi video pendek yang meledak dalam sepuluh detik.
Aku kembali — mungkin dengan cara yang ketinggalan zaman, mungkin dengan bahasa yang terlalu panjang untuk generasi yang lahir bersama kecepatan. Tapi aku ingin mencobanya lagi. Bukan untuk mengejar ketertinggalan, melainkan untuk mengukuhkan keberadaan. Bahwa aku masih di sini. Bahwa tulisanku masih bernapas, walau dunia sibuk scroll dan skip.
Ada masa ketika menulis adalah bentuk pembebasan. Kita tidak peduli berapa pembaca, tak pusing soal insight atau metrik. Yang kita kejar adalah kejujuran. Satu kalimat yang terasa tepat bisa lebih memuaskan daripada seribu likes yang menguap. Sekarang? Menulis panjang dianggap beban. Merenung dianggap lambat. Dan pelan-pelan, kita semua menjadi penonton dari diri sendiri yang dikemas serba instan.
Aku tak menyalahkan itu — zaman memang berubah. Tapi seperti seorang pematung yang tetap setia pada pahatnya di tengah pasar NFT dan AI-generated art, aku memilih untuk tetap duduk di bangku tuaku, membuka halaman kosong, dan menulis. Tidak cepat. Tidak viral. Tapi nyata.
Mungkin gaya menulisku kini dianggap kuno. Paragraf yang terlalu panjang, metafora yang terlalu puitis, atau sudut pandang yang terlalu lambat. Tapi apa gunanya menjadi muda kalau kehilangan ketajaman berpikir? Apa gunanya menjadi cepat kalau kehilangan arah?
Aku ingin menulis seperti orang bercakap dalam senja — perlahan, tapi dalam. Aku ingin menulis seperti seseorang menyeduh teh dalam diam — tidak untuk ditonton, tapi untuk dinikmati.
Blog ini bukan panggung besar. Ia lebih seperti ruang tamu kecil tempat aku menyambut diriku sendiri yang kadang hilang. Di sini, aku tidak perlu viral untuk merasa berharga. Aku hanya perlu menulis. Karena itulah satu-satunya cara agar aku tetap mendengar diriku sendiri di tengah kebisingan dunia.
Jika suatu hari nanti seseorang tersesat dan membaca tulisan ini, biarlah ia tahu bahwa masih ada yang menulis bukan untuk jadi terkenal, tapi agar tidak lenyap sepenuhnya.
Banda Aceh, 16 Juni 2025
0 Komentar