Kita Membaca Terlalu Banyak, Tapi Memahami Terlalu Sedikit

Kita membaca terlalu banyak hari ini. Terlalu banyak berita, terlalu banyak opini, terlalu banyak notifikasi. Kita membaca sambil makan, membaca sambil menunggu lampu merah, membaca sambil berjalan, bahkan sambil mengantuk. Tapi di antara semua itu, berapa banyak yang benar-benar tinggal dalam kepala? Berapa banyak yang kita pahami, kita cerna, kita simpan seperti pelajaran hidup yang lama?

Dunia hari ini bukan kekurangan informasi — ia kelebihan. Tapi kelebihan itu bukan berkah, melainkan semacam racun yang manis: menggoda, mengisi, tapi membuat kita tumpul. Kita tahu segalanya, tapi kita tak mengerti apa-apa. Kita hafal isu, hafal nama, hafal tren. Tapi kita kehilangan arah berpikir.

Informasi hari ini datang seperti hujan badai: deras, deras sekali — tapi tidak menyerap. Ia hanya melintas, membasahi permukaan, lalu pergi tanpa sempat masuk ke akar.

Kita membaca karena takut ketinggalan, bukan karena ingin tahu. Kita menyerap headline, bukan pemikiran. Kita percaya pada potongan video tiga detik, tapi tidak punya waktu untuk membaca penjelasan tiga paragraf. Kita suka dikutip, tapi enggan memikirkan ulang. Mungkin karena itu dunia ini semakin gaduh tapi semakin dangkal.

Pernahkah kamu merasa tahu terlalu banyak, tapi pusing sendiri? Tahu tentang konflik negara A, skandal tokoh B, pernyataan tokoh C, tapi kamu tak tahu apa yang harus kamu lakukan terhadap hidupmu sendiri? Itu karena sebagian besar yang kita baca hari ini bukan untuk diketahui, tapi untuk dihibur. Kita tidak sedang memperluas cakrawala, kita sedang menumpuk beban.

Yang kita butuhkan sebenarnya bukan lebih banyak bacaan, tapi ruang untuk mencerna. Kita butuh keheningan setelah membaca. Kita butuh bertanya, bukan langsung beropini. Kita butuh waktu untuk diam dan berpikir sebelum bereaksi.

Aku menulis ini bukan karena aku paling paham. Justru karena aku juga sering terjebak. Terkadang aku membaca terlalu cepat, lalu merasa pintar. Padahal hanya sekadar tahu — tidak lebih. Aku membaca karena ingin terlihat mengikuti zaman. Tapi setelahnya, aku merasa hampa. Seperti telah menelan tanpa mencicipi.

Maka tulisan ini bukan dakwah — ini semacam catatan kecil untuk diriku sendiri. Bahwa di tengah dunia yang semakin bising, memahami adalah bentuk perlawanan. Dan membaca dengan perlahan, adalah cara paling sederhana untuk kembali menjadi manusia.

Hari ini, mungkin kita tidak bisa menghentikan laju informasi.
Tapi kita masih bisa memilih:
Apa yang kita baca,
Bagaimana kita membaca,
Dan untuk apa kita membaca.

Karena pada akhirnya, bukan banyaknya informasi yang membuatmu lebih bijak.
Tapi seberapa dalam kamu menyelami yang sedikit — dan membiarkannya mengubahmu.



Banda Aceh, 17 Juni 2025

Posting Komentar

0 Komentar