Kita membaca terlalu banyak hari ini. Terlalu banyak berita, terlalu banyak opini, terlalu banyak notifikasi. Kita membaca sambil makan, membaca sambil menunggu lampu merah, membaca sambil berjalan, bahkan sambil mengantuk. Tapi di antara semua itu, berapa banyak yang benar-benar tinggal dalam kepala? Berapa banyak yang kita pahami, kita cerna, kita simpan seperti pelajaran hidup yang lama?
Dunia hari ini bukan kekurangan informasi — ia kelebihan. Tapi kelebihan itu bukan berkah, melainkan semacam racun yang manis: menggoda, mengisi, tapi membuat kita tumpul. Kita tahu segalanya, tapi kita tak mengerti apa-apa. Kita hafal isu, hafal nama, hafal tren. Tapi kita kehilangan arah berpikir.
Informasi hari ini datang seperti hujan badai: deras, deras sekali — tapi tidak menyerap. Ia hanya melintas, membasahi permukaan, lalu pergi tanpa sempat masuk ke akar.
Aku menulis ini bukan karena aku paling paham. Justru karena aku juga sering terjebak. Terkadang aku membaca terlalu cepat, lalu merasa pintar. Padahal hanya sekadar tahu — tidak lebih. Aku membaca karena ingin terlihat mengikuti zaman. Tapi setelahnya, aku merasa hampa. Seperti telah menelan tanpa mencicipi.
Maka tulisan ini bukan dakwah — ini semacam catatan kecil untuk diriku sendiri. Bahwa di tengah dunia yang semakin bising, memahami adalah bentuk perlawanan. Dan membaca dengan perlahan, adalah cara paling sederhana untuk kembali menjadi manusia.
0 Komentar