Bernafas seperti batu, isi kepala merambat dalam tiupan
angin. Aku tidak sedang becanda, ruang gerak dibatasi selimut kehampaan. Bukan lagi
untuk sekedar bercerita, tentang langkah-langkah yang dibawa pekat kian
terhabisi. Sebaiknya, memang perlu banyak beryakin. Yakin untuk hidup, dan
yakin untuk bisa tertawa. Bukan sandiwara, tidak juga lagi berkisah cinta yang
tak pernah sampai. Terlalu banyak rencana, ditumpuk beban pula kerap disikat. Bodoh!
Ketololan akhir yang membingungkan.
Terlalu indahnya dia terkadang membuat hati ini lega. Canda-candanya
memukau, setiap kali pula aku tak tahan dirayu. Sebenarnya ia sama sekali tidak
mengetahui, ini misi rahasia, memang sewajarnya begitu. Sebagai tanda
kekaguman, sering sekali aku menukar wajahnya menjadi lukisan di kamar. Biar kadang
tak terlihat, bersenyum di hadapan cermin sepertinya akan membantu. Entahlah,
catatan ini semakin gila dengan wadah yang aku tempati. Percuma, tapi aku tahu
ini pasti akan terjawab. Walaupun sebatas sapa tak berkesan.
Kembali aku harus memetik buah yang busuk, sebab tidak ada
pupuk yang bisa ditabur. Sepantasnya aku melahap makanan basi, daripada nasi
putih berampas malu. Kadang pernah tidak dijawab oleh sang waktu, lembar yang
terbuka belum disaksikan penikmat ragu. Resah pasti memuncak, selangkah sebelum
tiba dahan petaka. Neraka, atau surga, sama-sama jauh dari pandangan mata. Sejatinya
nyata, seakan luput dari perasaan yang kaku. Harus menunggu, bersabar dan
ikhlas. Ah, itu saja kuncinya. Tapi aku, tidak juga bisa merasa, hanya merasa
bisa.
Kekeringan yang disemat daunan muda, cukup sempurna ketika
fajar. Mekarnya pun terbuka, garis yang lama tak bersemi kembali. Sebelumnya
ada rangkaian terlintas, aku berkata ini tidak mungkin. Apalagi kemungkinan
yang dimainkan sama sekali tidak memungkinkan untuk mungkin. Sepantasnya dusta,
atau dibalut dengan sutra halus bernama drama. Maupun sandiwara juga sama,
berposisi menutup kenyataan layaknya hukum negeri jauh. Aku belum percaya, ada
manusia yang tidak kenal angka dewa. Sangat dibutuhkan karena, apalagi
menjelang lambung yang berjatah diisi. Disuap, disogok agar tidak meracau.
Wajah-wajah tak adil, aku menyongsong ini tanpa syair
pahlawan. Sudah dijarah ribuan tahun. Belum sempat diciptakan lagu. Pernah sekali
diwarisi. Hilang akal dalam jejak kenangan. Semua hanya mitos, seperti isi
parit kosong yang penuh dengan sampah. Bintang haram berkeliaran di halaman
rumah para saudagar. Tidak berupah, sebab anjing tahu makanan terlezat selain
daging.... dan cukup! Tidak ada yang perlu mengerti.
Bandung, 06 Febuari 2014
0 komentar