Ketololan Akhir

By Unknown - 6:05 am

Bernafas seperti batu, isi kepala merambat dalam tiupan angin. Aku tidak sedang becanda, ruang gerak dibatasi selimut kehampaan. Bukan lagi untuk sekedar bercerita, tentang langkah-langkah yang dibawa pekat kian terhabisi. Sebaiknya, memang perlu banyak beryakin. Yakin untuk hidup, dan yakin untuk bisa tertawa. Bukan sandiwara, tidak juga lagi berkisah cinta yang tak pernah sampai. Terlalu banyak rencana, ditumpuk beban pula kerap disikat. Bodoh! Ketololan akhir yang membingungkan.
Terlalu indahnya dia terkadang membuat hati ini lega. Canda-candanya memukau, setiap kali pula aku tak tahan dirayu. Sebenarnya ia sama sekali tidak mengetahui, ini misi rahasia, memang sewajarnya begitu. Sebagai tanda kekaguman, sering sekali aku menukar wajahnya menjadi lukisan di kamar. Biar kadang tak terlihat, bersenyum di hadapan cermin sepertinya akan membantu. Entahlah, catatan ini semakin gila dengan wadah yang aku tempati. Percuma, tapi aku tahu ini pasti akan terjawab. Walaupun sebatas sapa tak berkesan.
Kembali aku harus memetik buah yang busuk, sebab tidak ada pupuk yang bisa ditabur. Sepantasnya aku melahap makanan basi, daripada nasi putih berampas malu. Kadang pernah tidak dijawab oleh sang waktu, lembar yang terbuka belum disaksikan penikmat ragu. Resah pasti memuncak, selangkah sebelum tiba dahan petaka. Neraka, atau surga, sama-sama jauh dari pandangan mata. Sejatinya nyata, seakan luput dari perasaan yang kaku. Harus menunggu, bersabar dan ikhlas. Ah, itu saja kuncinya. Tapi aku, tidak juga bisa merasa, hanya merasa bisa.
Kekeringan yang disemat daunan muda, cukup sempurna ketika fajar. Mekarnya pun terbuka, garis yang lama tak bersemi kembali. Sebelumnya ada rangkaian terlintas, aku berkata ini tidak mungkin. Apalagi kemungkinan yang dimainkan sama sekali tidak memungkinkan untuk mungkin. Sepantasnya dusta, atau dibalut dengan sutra halus bernama drama. Maupun sandiwara juga sama, berposisi menutup kenyataan layaknya hukum negeri jauh. Aku belum percaya, ada manusia yang tidak kenal angka dewa. Sangat dibutuhkan karena, apalagi menjelang lambung yang berjatah diisi. Disuap, disogok agar tidak meracau.
Wajah-wajah tak adil, aku menyongsong ini tanpa syair pahlawan. Sudah dijarah ribuan tahun. Belum sempat diciptakan lagu. Pernah sekali diwarisi. Hilang akal dalam jejak kenangan. Semua hanya mitos, seperti isi parit kosong yang penuh dengan sampah. Bintang haram berkeliaran di halaman rumah para saudagar. Tidak berupah, sebab anjing tahu makanan terlezat selain daging.... dan cukup! Tidak ada yang perlu mengerti.


Bandung, 06 Febuari 2014 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar