BIRPUNK

By Unknown - 9:29 pm

Sendirian ditemani bosan. Saya kepikiran untuk mencari-cari teman ngobrol di luar. Mulai dari tukang somay, hingga Mang-mang penjual ikan cupang. Tetapi tidak asyik, tidak bisa jadi inspirasi untuk menulis. Kecuali mereka mau menceritakan semua gundah dan membongkar aibnya pada saya. Sambil menatap ke depan, gerombolan anak-anak punk sedang berkeliaran. Aha! Terlintas di benak saya untuk mendekati mereka, dan membahas tentang komunitas punk. Tapi tidak semudah memakai trik SPG yang menawarkan produk, ini sedikit butuh kesabaran.
Sehari masih bingung-bingung, sangak jitung tak karuan. Hari kedua juga masih sama, belum ada peningkatan, malah saya dipelototin. Nah, ketiga kalinya, saya pun tidak tinggal diam. Segera saya pasang wajah yang tak kalah garang, sok cadas biar dianggap brutal. Sukses juga, anak-anak punk itu pun kegirangan sebab saya membagi-bagikan rokok gratis. Ya iyalah, kalau tidak begitu habislah saya. Bagaimana bisa diajak ngobrol? Memangnya mereka operator apa?! Nah, saya juga bukan HRD yang mau ngasi mereka kerjaan.
Orang yang saya temui mengaku namanya Frenk. Sadis amat namanya, saya yakin itu adalah nama samaran. Walaupun dia sendiri minta diralat pas namanya saya tulis pakai akhiran huruf ‘ng’, sebab kata punk diakhiri dengan ‘nk’. Pantaslah, saya langsung merasa bahwa Frenk memiliki jiwa Punker sejati. Karena namanya yang aneh, saya pun akhirnya lebih tertarik untuk menyelidiki tentang kata Frenk daripada komunitas punk sendiri.
“Bro Frenk, kenapa namanya Frenk? Kenapa nggak Frekuensi supaya ada makna,”
“Karena nama saya Frenk, jadi ya mereka memanggil Frenk,”
Sialan! Ini orang benar-benar lagi mabuk. Padahal cuma nyedot lem doang. Saya pun sepertinya ikutan mabuk, soalnya aroma lem begitu menyengat di hidung saya. Eh, malah si Frenk tergelak sendiri. Dikiranya saya senang, walaupun nyatanya saya juga ikut-ikutan ngekeh sok asyik. Benar juga kata Frenk, sebab itu namanya, jadi mereka memanggilnya.
“Frenk, mereka itu siapa? Siapa yang memanggilmu Frenk?”
“Bapak barusan manggil saya Frenk,”
“Maksudnya selain saya. Sebelum saya, gitu,”
“Oh, ya anak-anak, Pak. Semua juga manggil saya Frenk,”
“Anak-anak mana?”
Dia menunjuk-nunjuk ke arah bapak-bapak yang sedang asyik ngerumpi sambil neguk bir bintang. Saya pun menelan ludah sendiri, sebab salah satu dari bapak-bapak itu mulai memperhatikan saya. Katanya anak-anak, kok malah orang tua yang tunjuk.
“Apa?” teriak si bapak yang diikuti sorot mata bapak-bapak yang lain.
“Enggak, Pak. Mau beli minuman,”
“Oh, sini!”
Mampuslah saya! Dikiranya si Bapak, saya serius mau beli minuman. Padahal sekedar alasan doang. Matilah! Terpaksa saya bangkit dan mendatangi gerombolan bapak-bapak itu dengan sekujur tubuh saya gemetar.
“Adanya cuma bintang, mau?”
“Iya, Pak. Boleh,”
“Ini, 30 ribu,”
Saya pun kembali ke tempat si Frenk sambil meneteng sebotol bir. Tangan saya juga belum berhenti bergetar dari tadi. Terasa mimpi seperti buruk. Apalagi minuman seperti ini sangat sakral kalau saya yang memegangnya. Terasa haram sendiri, seakan najis besar yang sedang saya bawa. Sampai sekarang pun masih terasa sangat berdosa memiliki tangan yang pernah menggenggam minuman setan itu.
“Dibuka, Pak! Kita minum bareng!”
“Hah? Ini buat kamu saja, tapi nanti minumnya, bareng anak-anak,”

Bandung, Januari 2014 

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. wuiiissshhh.. bg nazri keren2 x pengalamannya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahha... Tina mau kenalan sama si Frenk? :d

      Delete