Sendirian ditemani bosan. Saya kepikiran untuk mencari-cari
teman ngobrol di luar. Mulai dari tukang somay, hingga Mang-mang penjual ikan
cupang. Tetapi tidak asyik, tidak bisa jadi inspirasi untuk menulis. Kecuali
mereka mau menceritakan semua gundah dan membongkar aibnya pada saya. Sambil
menatap ke depan, gerombolan anak-anak punk sedang berkeliaran. Aha! Terlintas
di benak saya untuk mendekati mereka, dan membahas tentang komunitas punk. Tapi
tidak semudah memakai trik SPG yang menawarkan produk, ini sedikit butuh
kesabaran.
Sehari masih bingung-bingung, sangak jitung tak karuan. Hari kedua juga masih sama, belum ada
peningkatan, malah saya dipelototin. Nah, ketiga kalinya, saya pun tidak
tinggal diam. Segera saya pasang wajah yang tak kalah garang, sok cadas biar
dianggap brutal. Sukses juga, anak-anak punk itu pun kegirangan sebab saya
membagi-bagikan rokok gratis. Ya iyalah, kalau tidak begitu habislah saya.
Bagaimana bisa diajak ngobrol? Memangnya mereka operator apa?! Nah, saya juga
bukan HRD yang mau ngasi mereka kerjaan.
Orang yang saya temui mengaku namanya Frenk. Sadis amat
namanya, saya yakin itu adalah nama samaran. Walaupun dia sendiri minta diralat
pas namanya saya tulis pakai akhiran huruf ‘ng’, sebab kata punk diakhiri
dengan ‘nk’. Pantaslah, saya langsung merasa bahwa Frenk memiliki jiwa Punker
sejati. Karena namanya yang aneh, saya pun akhirnya lebih tertarik untuk
menyelidiki tentang kata Frenk daripada komunitas punk sendiri.
“Bro Frenk, kenapa namanya Frenk? Kenapa nggak Frekuensi
supaya ada makna,”
“Karena nama saya Frenk, jadi ya mereka memanggil Frenk,”
Sialan! Ini orang benar-benar lagi mabuk. Padahal cuma
nyedot lem doang. Saya pun sepertinya ikutan mabuk, soalnya aroma
lem begitu menyengat di hidung saya. Eh, malah si Frenk tergelak sendiri.
Dikiranya saya senang, walaupun nyatanya saya juga ikut-ikutan ngekeh sok
asyik. Benar juga kata Frenk, sebab itu namanya, jadi mereka memanggilnya.
“Frenk, mereka itu siapa? Siapa yang memanggilmu Frenk?”
“Bapak barusan manggil saya Frenk,”
“Maksudnya selain saya. Sebelum saya, gitu,”
“Oh, ya anak-anak, Pak. Semua juga manggil saya Frenk,”
“Anak-anak mana?”
Dia menunjuk-nunjuk ke arah bapak-bapak yang sedang asyik
ngerumpi sambil neguk bir bintang. Saya pun menelan ludah sendiri, sebab salah
satu dari bapak-bapak itu mulai memperhatikan saya. Katanya anak-anak, kok
malah orang tua yang tunjuk.
“Apa?” teriak si bapak yang diikuti sorot mata bapak-bapak
yang lain.
“Enggak, Pak. Mau beli minuman,”
“Oh, sini!”
Mampuslah saya! Dikiranya si Bapak, saya serius mau beli
minuman. Padahal sekedar alasan doang. Matilah! Terpaksa saya bangkit dan
mendatangi gerombolan bapak-bapak itu dengan sekujur tubuh saya gemetar.
“Adanya cuma bintang, mau?”
“Iya, Pak. Boleh,”
“Ini, 30 ribu,”
Saya pun kembali ke tempat si Frenk sambil meneteng sebotol
bir. Tangan saya juga belum berhenti bergetar dari tadi. Terasa mimpi seperti buruk.
Apalagi minuman seperti ini sangat sakral kalau saya yang memegangnya. Terasa
haram sendiri, seakan najis besar yang sedang saya bawa. Sampai sekarang pun
masih terasa sangat berdosa memiliki tangan yang pernah menggenggam minuman
setan itu.
“Dibuka, Pak! Kita minum bareng!”
“Hah? Ini buat kamu saja, tapi nanti minumnya, bareng
anak-anak,”
Bandung, Januari 2014
2 komentar
wuiiissshhh.. bg nazri keren2 x pengalamannya..
ReplyDeleteHahha... Tina mau kenalan sama si Frenk? :d
Delete