Setidaknya,
aku berani mempertaruhkan kebahagiaan. Mengukir kehampaan di permukaan kanvas
yang membusuk. Membicarakan kelabu di hadapan waktu. Menulis keusangan di
lembaran rindu. Sebenar-benarnya, kerap pula aku mendendangkan nada-nada sendu.
Meskipun tidak pernah seirama dengan kerasnya jeritan pilu di hati. Aku..
seakan terbuang ke lain dunia.
Entah
siapa yang akan aku salahkan? Ketika perempuan yang aku panggil ibu, kini
memintaku kembali melengkapi bagian rumah. Bertemu lagi dengan kenangan, dan
kembali meminjam harapan pada teriknya matahari di Aceh. Setelah sekian hari
tak aku temui perubahan, bahkan lebih sering memaki kelelahan bernama gelisah. Aku..
seakan menambah keruhnya dunia.
Ke
mana aku sembunyikan semua kekecewaan? Ketika lelaki yang aku panggil ayah,
masih saja percaya dengan harapannya. Padahal aku sudah sangat benci yang
disebut dengan masa depan. Bahkan aku, tidak pernah ada waktu untuk menerawangnya
melebihi nanti. Dalam satuan detik, hanya angka-angka resah yang bertabur di
mejaku bekerja. Aku.. seakan kesia-siaan setelah dunia.
Tapi
setidaknya, aku masih bisa menyaksikan senyum. Meskipun ranah belum ranum, makam
kegagalan tidak berdebu. Menjelang 19 Oktober yang semakin mendekat, aku ingin
mencairkan hampa. Menghapus karat yang semakin lebat, menambah pupuk harapan
yang lebih tinggi.
Demi
kepercayaan ayah, dan pengorbanan kerinduan ibu. Aku sedang menyiapkan
sesuatu.. tentu saja tentang keberanian menjadi seorang anak.
Bandung, 16 Oktober 2014
1 komentar
Aku berharap bisa memeluk ibu pada tanggal itu. :)
ReplyDelete