“Zri, apa yang sudah
kita dapat selama di Bandung?” cetus Doni Daroy, tatkala beku nan menyengat
batin di seputaran Braga.
Aku
berandai-andai, semoga tawa sederhana bisa mengelabui. Namun saat hampir tujuh belas meter kaki melangkah, desiran itu
bagai datang dari neraka. Aku tergagap, meskipun dalam keadaan bijak. Entah apa
yang aku lakukan selama ini? Belum ada perjuangan yang benar-benar berbuah
ranum. Semua berlalu, seperti keruh air di sepanjang Cikapundung. Tidak ada satu
liter pun yang melepas dahaga kalbu. Renungku membeku seiring jenuh dalam
kenangan.
***
Aku bertemu
dengan rekan-rekan penulis. Mereka lebih hebat dari yang aku bayangkan. Oh, betapa optimis mereka dalam meniti karirnya. Kemudian
para aktor yang tidak pernah mementas drama masa depan. Mereka mengitari jalanan
yang berserakan sampah, hingga sampah masyarakat kerap bersahabat dalam obrolan
kami.
Aku pun berteman
dengan wartawan. Memburu berita dalam kanal-kanal berdarah, mengejar tokoh di
kubangan sandiwara, dan bertingkah sesibuk mungkin di area police line. Tentu saja
tidak sesedih mendengar keluh seniman. Ada ribuan ratap mereka yang ditular
pada keseharianku. Terutama penyair, kumuh dan tak terurus. Bahkan aku pun
dipaksa makan nasi pakai sajak.
Orang-orang di
sekitar, sungguh banyak yang berharap kisahnya dinovelkan. Bagaimana bisa? Sedangkan
aku bukan penulis novel yang berpotensi best seller. Cerpen yang aku karang
semalaman saja, tidak dimuat-muat di harian minggu. Dari 235 subjek email yang
pernah aku kirim, kurang dari delapan judul yang ditayangkan. Selebihnya hanyalah
sampah, bahkan aku dibuat malu saat membacanya kembali.
Paling sering
menyumbatkan aliran darahku ketika berprofesi sebagai reporter berita. Hampir setiap
tugas liputanku menunai kritik. Tidak tanggung-tanggung, bukan lagi pimpinan
redaksi yang memberi teguran. Tapi email dari pemilik media yang sudah hampir mengalahkan
broadcast BBM alay. Meskipun begitu, bukan pula perkaranya alasanku mengeluh. Sebab
ada banyak hal yang membuatku lebih paham tujuan menjadi jurnalis. Bukan jumlah
honor, tapi kebanggaan. Ya, aku bangga terpenjara di dunia jurnalistik.
Lantas, apakah
aku sudah bisa menjawab pertanyaan Doni Daroy? Tentu tidak.
***
Entah takdir,
atau hanya sekedar nasib yang melintas. Sepertinya memang benar, aku hanya
mampu untuk menulis. Banyak pekerjaan yang aku geluti, selalu berhubungan kuat
dengan alam kepenulisan. Mulai dari perusahaan pernerbitan, hingga sekedar
menulis slogan untuk iklan sebuah toko.
Aku senang
menulis, walau kadang ingin mati dibuatnya. Hingga aku pun benar-benar
membayangkan, jika saja aku tidak bisa menulis. Ah, tentu saja aku sudah mati
dimakan bakteri, ataupun rayap triplek di kebun durian. Dan tidak akan pernah
ada bait sajak yang bisa dimakan.
Setelah tawaran
menulis naskah film layar lebar gagal, aku sempat berpikir untuk membuat filmnya
sendiri. Tapi tidak sampai hati, sebab dunia perfilman sudah membuatku begitu bersahabat
dengan IDM. Begitu pula saat ikut-ikutan melamar menjadi penyiar radio, aku pun
berencana membangun pemancar radio sendiri. Tentu saja tidak kesampaian, sebab
ada produser stasiun televisi yang memintaku menulis naskah. Dan bencana besar
pun terjadi.
Satu minggu:
belum ada yang aku selesaikan. Dua minggu: masih sama. Tiga minggu: selesai
setengah. Empat minggu: naskah harus direvisi kembali. Minggu ke lima: aku gila
dengan naskah-naskah asing. Minggu enam: semakin buruk. Minggu tujuh: pekerjaan
lain larut bersamanya (tidak ada yang selesai). Minggu delapan: Doni Daroy
datang mengajukan pertanyaan neraka.
Apa yang aku
dapat selama di Bandung? Jika tidak ada, aku harus segera pulang ke
Aceh. Tapi bagaimana dengan naskah produser itu? Lalu, mau aku bawa ke mana
kontrak perkerjaanku di kantor? Begitu pula dengan tugasku sebagai reporter pemburu
berita. Sampai kapan akan terus begini? Nahasnya, waktu terus berlalu, dan aku
masih saja mengisi postingan blog.
Untuk sekedar
mengungkap rindu, pada embun di kelopak melati Banda Aceh. Aku harus berhenti mengeluh, dan terus bergerak. Kumpulkan honor, kemudian pulang... Lalu mengucapkan selamat ulang tahun buat Kota Bandung.
Bandung,
25 September 2014
3 komentar
Semangat Aneuk Muda.. Mak do'akan kalian selalu baik-baik di sana,, Mengecapi pilunya kota yang kelak akan kalian rindukan..
ReplyDeleteMenyimak ...
ReplyDeleteSemangat,sukses terus ya :)
ReplyDelete