Aku tetap
menulis sajak, meski tidak dibayar. Biarlah habis sejuta tinta, tanpa diberi
upah. Setiap yang aku terima hanya penghormatan sebagai penyair. Siapa pula
yang mampu menjadi raja? Aku selalu kalah tatkala diajak bersaing. Hariku terlalu
dingin, malam selalu beku dimakan waktu. Belum juga mampu menikmati honor
selayak jutawan. Ya, aku tahu, sebab lemah badan, atau sangat damai menuai
hasil. Tanpa pendidikan sastra berbasis formal.
Saat jam mulai
menghimpit di sudut kamar yang gelap. Listrik tak terbayar, apalagi perut yang
belum terisi sedikitpun nasi. Sungguh, aku kelaparan di dalam duniaku sendiri.
Benar-benar seorang diri, tanpa siapa pun yang aku kenal seutuhnya. Sudah lama
aku menyebutnya keterasingan. Walupun kesepian lebih mudah tercipta di ruang
kehampaanku kini. Sampai detiknya ini, aku selalu kenyang dengan
ketidakwarasan. Setelah memakan habis semua angka di ijazah yang pernah aku
tempuh.
Sedikit suara
malam memberi penompang. Sekedar menghibur beku agar lebih mengilu. Semakin
menggigil, tubuh kecilku seakan begitu dekat dengan kiamat. Apa sebab terlalu
jauhnya aku dari dunia? Entahlah, sejak pertama hingga saat ini, selalu saja
dingin. Angin seolah salah tingkah, dan selalu merayu untuk bercinta. Parahnya di
lain semesta, semakin beda memaknaiku sebagai nyata. Harga sebuah sastra tak
terurusi!
Ah, sudahlah,
berulangkali pun aku tetap bukan kalangan terhormat. Tidak lebih dari
kuman-kuman pena yang memanggilku penyair. Semua gara-gara angka kebohongan,
menetapkanku sebagai penyair miskin. Bergelimpangan air mata didera
ketidaknyamanan, tergepoh kaki mengusap kelana. Sampah! Sejuta hasrat terbakar
menatap koran bekas: yang memeluk gelapnya dinding kamarku sendiri.
Bandung, Juni 2014
0 komentar