Dari teriak-teriakan batin, serta sahut-sahutan dari nurani
yang panjang. Tentang kemanusiaan, jiwa yang terpanggil kian menyentuh bagian
peka. Aku mengenang kala itu, juga sangat mengingat nada-nada itu dari selembar
gambar. Oh Palestina, sesungguhnya perjuangan kita belum selesai. Masih terlalu
banyak yang harus kita rebut kembali, akan sesuatu yang sudah seharusnya kita
jaga. Dari tanah yang jauh jutaan kilometer jaraknya, aku masih berada di jalan
yang sama. Wahai Palestina, dari daratan Sunda hingga Jalur Gaza!
Di balik nafas-nafas yang mengigau, aku harumkan sebuah
permohonan suci yang masih bersemi dalam darah syuhada. Untuk sesuatu yang juga
harus aku tempuh, sebelum terlalu jauh diri hina ini diradang kelalaian. Aku ingin
bersanding dengan seorang bidadari, sebelum keindahan sesudahnya, di Jannah
yang dijanjikanNya. Tidak harus serupa Ainul Mardiah, tak mesti juga seperti kelembutan
yang menjemput para Abdullah di medan Sabilillah. Cukup, aku mendambakan
pemandu yang mampu mencintai Al Anfal sepertiku. Cinta yang dimulai dengan La
Illahailallah, bersama harga diri seorang Annisa. Pada doa-doa malam, ia tumbuh
bersama hangatnya jiwa ini dalam semlilirnya yang dingin. Jiwaku sebagai peluru,
imannya menjadi perisai.
Pada setiap pemukiman di bawah kolong langit, di atas bumi
yang tersesat oleh zaman, tempat manusia-manusia penyembah kebohongan. Aku telah
mengintip banyak sisi yang bisa membawaku ke berbagai lubang tak terkontrol. Sesungguhnya
aku menangis, seperti saat melihat Palestina-ku yang bom-bardir oleh
roket-roket setan. Karakter yang aku temui pun lebih menyajikan kemufikan. Tidak!
Aku tidak terima terus didera harga diri layak moral di balik topeng Valentine.
Hingga kering liur, udara yang kuhirup beroma bangkai. Peka amarah sepertinya
harus berlari dan bersembunyi. Lalu ke manakah keringat-keringat ksatria yang
tak pernah mundur di bawah kobaran api perjuangan. Aku rapuh!
Kembali mengikuti jejak di belakang, dari ratusan hari
sebelum hari ini. Saat senyum berkata cinta, hingga pandangan mata hampir
membuatku buta. Allahu Akbar! Aku sungguh tidak tenang dengan nilai secuil
dosa, apalagi jika sampai menenggelamkan lautan. Aku bersujud, memohon ampun
pada Rabb-ku. Semoga terbakar hasrat-hasrat Jahiliyah, menjadi agung seberkah
tanah Arabia. Maka kali ini, aku ungkapkan semua. Dari pahala yang tersembunyi,
tentang amal sepanjang waktu, dan jejak yang direnggut kelalain hari. Aku, ini
perasaan yang jauh dari relung kalbu. Setia, aku masih menunggu. Air mata dari angka
amarah yang tertunda. Maafkanlah tentang kekaguman, inilah kenyataan. Sungguh,
aku mencintaimu, wahai kau pengibar bendera Palestina di bumi Indonesia!
Bandung, 19 Febuari 2014
0 komentar