Paduka Kolong Langit

Malam terlalu dingin mengandengi, langit gelap dengan sekumpulan awan berwarna kelabu tua. Bersama syair petaka yang membentang sepanjang perjalanan Aceh hingga sepenjuru dataran Jawa. Tanpa penghabisan, meskipun waktu memburu sejarah yang dikawal hasrat. Hari ini, setumpuk impian yang mudah pudar, sejajar kawanan pemabuk anggur di awal pagi. Ya, masih dini untuk segenap embun yang masih menggumpal keras di bentangan bait kasar.
Kuasa rasa, tidak mampu bercerita tentang sesuatu yang dikhawatirkan kematian. Setelah kehidupan, tanpa kenyataan yang diharapkan para pendosa. Di balik hitungan nyata, ketakutan merentet gabungan iblis yang ditantang manusia setengah suci. Tertawa atau menangis, pasukan neraka merasa bangga menyambut cerca bayangan. Tidak tampak baru, selain bayangan siluet jagat dari ksatria palsu. Demi keyakinan yang ditunda, semua menaruh kendali di lembaran angka-angka dewa. Sehingga tidak satu pun orang yang mampu membuktikan surga akan lebih terasa setelah kematian.
“Kawan, siapa yang menunda jadwal makan ketika lapar? Selain jumlah kertas kasar berlogo pancasila di sudutnya,” sapaku pada kerut jemari menantang dingin. “Katakan, wahai kawan-kawan! Siapa yang mencuri lahapan anakmu di hadapan Tuhan yang sering kalian puja?”
Tidak jawab oleh sepi, apalagi gelapnya yang semakin redup. Aku mulai terkekeh, sembari membilas mata dengan gelengan tidak percaya. Entah apa yang direbutkan? Siapa pula yang bisa menahan sendu? Aku tertawa, bukan berarti cukup berani menenteng kebenaran ego keterbatasanku. Sebenarnya, aku merindukan sejarah yang disanjung-sanjung pejuang waktu. Setelah sekian kebisingan pasar oleh satu orang penjual, namun ramai dengan jutaan pembeli dari segala kaum.
“Beli, beli, beli! Ayo beli! Harga mati tanpa kehidupan berhala di atas putaran bumi!”
Lagi-lagi, aku terkekeh dalam tegukan anggur bersama para pemabuk waktu. Senyaring apapun teriakan dari komersil audio, banyak yang sudah tuli untuk menembus jendela dan pintu istana pendusta. Siapa lagi yang layak bicara? Idiot atau raja, sama-sama punya hak mengatur di atas panggung yang disebut demokrasi. Sejenak, aku ingin menghantukkan botol anggur ini di lapisan kegagahan tembok. Sebab, tiada nalar kebenaran yang kami terima. Tidak pernah ada cinta yang dipatuhi oleh barisan pecandu jalanan.
“Kawan! Kalian percaya mereka? Salah! Salah, dan salah! Juga kebangkitanku tanpa kebenaran!” ajakku kesekian kali. “Mari bergabung! Kita katakan pada mereka! Bertahanlah pada tumpukan semesta yang disaingi kegilaan ini!”
Kami masih bingung, wahai paduka!
Sialan, simaklah bersamaku, paduka tanpa hamba di bawah kolong langit ini,


Bandung, Desember 2013 

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Kawan setidaknya aku mengerti, meski sedikit mengkerutkan dahi, tapi seberapa lama lagi engkau diam tenang di balik bayang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah sebaiknya kau mengerti, sebelum waktu mengajari langkah mengintai jejak. Ada ribuan pengecut yang takut keluar rumah mereka dengan perasaan takut mati. Tapi aku tidak, sebab jawaban itu bersemi bersama ikhlas jiwamu. Bersiaplah ketika hari menjadi pedang!

      Hapus