Tanpa Hamba

Menghitung bangkai di hamparan luas tanah hijau ini. Tak terhingga, meskipun gelap telah berevolusi, bersama rotasi yang menghadiahkan pagi dengan matahari. Malah semakin terlihat, seberapa perihnya jiwa di lembah-lembah sandiwara. Jelas, tidak harus menerangnya di gubuk-gubuk para normal yang juga bersandiwara. Aku terbahak menjadi raja, tentu saja untuk diriku sendiri. Jika harus membuka mata, air mengucur menahan pedih panasnya zaman. Sekarang ikutlah, gabunglah bersama tagihan limbah hari ini.
Membuka layar LCD biru, mulai mencari keberanian tentang hidup. Kau pasti tahu kawan, aku bukan yang pertama mengemis jiwaku sendiri. Tapi sosok tinja terlalu bangga di atas singgasananya. Atau kalian terlalu kuat untuk menghantui mereka, tetapi keberanian terlalu lemah dalam hitung waktu. Mudah dihabisi, seperti rasa cinta terhadap bendera yang kalian hormati di setiap senin. Selebihnya pecundang tampil lebih gagah dengan sorotan hijau di matanya. Menawarkan kebahagian tanpa surga, tempat dudukmu akan lebih empuk daripada di atas sabun busa hasil kiriman dari negeri tetangga.
Tentang sabun dan busa, aku punya cerita yang harus kalian dengar. Bertahun-tahun yang dikonsumsi bangsa ini adalah air mata dan darah. Hak-hak melayang dengan hitungan jemari pelacur di malam jum’at. Atau akhir pekan saat kalian mengunjungi tempat-tempat wisata. Aku menemukan busa itu mengalir di bibir-bibir saudara kita, bukan dari minuman soda yang dituang dalam segelas untuk melabui. Hei, kalian tentu mengenal anak yang menangis memohon sumbangan sebagai penyambung hidupnya.
“Tolong, Pak! Tolong, belum makan,” lirihnya di setiap mall dan super market.
Siapa peduli? Selain kata maaf yang seperti kita melakukan kesalahan padanya. Oh, ini bukan tentang rasa sosial, tidak juga dulu kita membahas mereka yang lelah berorasi. Tentu saja kita akan lebih dari itu tatkala memohon. Bertahun-tahun malah, setelah diwariskan oleh para pendahulu kita yang kini tidur di bawah tanah. Sedangkan kita, di bawah kolong langit harus memahami itu, tidak ada permohonan yang lebih suci dari meminta hak kita kembali. Sekarang semakin rumit, kita harus mengetahui dulu apa hak kita. Bukan tidur nyaman dengan ribuan nyamuk bergentangan, atau ada jutaan koloni kutu busuk di bawah selimut ketakutanmu.
Adakah yang bertahan tanpa menangis? Ketika tamparan itu semakin meraja dalam kebegisan. Mungkin hanya kata ‘bajingan’ atau isi lidah pecundang lain yang bisa dilontarkan. Itupun dari relung hati, seperti ungkapan cinta yang sulit dikatakan. Kalian mengerti? Ledakan terbesar sekarang ada di balik jantung yang berdetak. Tersembunyi bersama langkah diiring waktu yang panas. Terserah, hanya itu yang kau miliki. Sialnya, aku baru ingat tentang keegosianmu yang lebih tajam dari jelmaan belati India. Ada di mana hamba itu sekarang? Selain paduka yang tersenyum menahan geli dengan tingkah ‘terserah’ itu. Aku mengerti, kita sama-sama tak punya jalan yang teraspal menuju surga. Karena di kolong ini, langit tidak menawarkan surga kepada tanah yang dipijak ini.
Debu-debu terus diseret angin di jalanan Jakarta. Ketika hujan, banjir membawanya di samudera yang tercemar. Kemudian tersisa bakteri di selangkangan, wabah kenistaan dalam bisnis penata kemegahan kota. Oh, di dalam mimpi, bisakah terhenti saat koneksi tidak pernah tersambung ke lubang istana. Sangat tidak akan direlakan malam untuk pagi yang dicuri tangis wanita-wanita tua di lorong pelacuran. Bualan! Siapa yang lebih sesuai menamakan pahlawan nyata tanpa  lagu patah hati. Jahanam! Aku terisak pilu dalam mabuk-mabuk perekat mesin bank dunia. Ekonomi habis dimakan pecandu harga yang kian melambung. Semua serba mahal, kita menangisi tangan kita sendiri.
Pembantaian iblis di kubangan minyak yang dipestakan kafir dalam negeri ini. Masih bisa dirangsang, saat rekayasa dalam hiburan perdebatan anatara ustad dan pendeta. Operasi berjalan tanpa kontrol di atas tanah-tanah tanpa akhir. Kita sebut saja kasus Aceh yang kehilangan kendali soal HAM. Juga masa konflik di Poso dan Ambon. Ah, Timor Leste masih ingin disebut. Seberapa banyak lagi? Tanpa harus membawa Madura, Sampit, dan juga neraka di hutan Papua yang setiap detik dicuri. Kelurahan juga masih diiming-iming idiot yang bersikap raja. Wadah sempurna di Negeri Kolong Langit ini.
Seorang ibu mencari nafkah untuk anak dan keluarganya. Ia berangkat meninggalkan tanah ini, bernegosiasi dengan pihak migrasi, kemudian terbang ke negeri tetangga. Kita lupa, semenjak keberangkatannya sudah dilabui. Mulai dari pihak yang menawar, membawa, mengurus, sampai yang menerimanya di sana. Semuanya di luar kendali sebuah nurani, jenjang keluarga sebenarnya belum tuntas. Belum dimilikinya kaki untuk belari, sudah diluangkan jalan beraspal duri di hadapannya. Ya ya, harus aku buang rasa cemas tentang menyeberangi Jawa ke Madura dulu. Entah berapa tahun lamanya.
Lagi-lagi bergerak cepat sepanjang nyanyain tak berlalu canda. Setengah tertawa, aku menemukan sesuatu yang tidak harus dimengerti. Karena di atas tanah, di bawah kolong langit yang mulia ini tidak akan melayangkan kenangan pejuang. Mereka dulunya pasti lebih sibuk dari ini, lebih dijaga sebagai surga dinantinya. Bukan air mata, tidak juga darah yang kita temukan kini. Ada nafas-nafas setia itu sudah cukup, tidak menipu dan melabui kita dengan poster yang ditempel sepanjang jalan. Setenang apapun, aku melihat jalan itu menanti maut. Bersama jerit-jerit yang masih bergema, aku mengajak kalian bergabung.
Sejauh apa kehadiran perampok hasil didikan sejarah roh nenek moyang yang mati. Sejumlah luas yang perkirakan subur, kini menyakiti jiwa yang paksa tersenyum. Aku harus menerima, seperti kalian yang membenci duka di dalam butiran waktu. Di ujung pintu rumah, aku masih khawatir dengan cinta yang kutemukan di lembah nista. Masih juga aku bertanya, kepada siapa dunia ini berakhir kebenaran, karena surga hanya ditawarkan setelah mati.
Sebagai pemanggil, yang nyakiti siang dengan gerhana matahari, di depan mata anjing yang memandangiku seperti Israel, maka aku menanam separuh bayanganku di hamparan subur ini. Berharap, suatu hari kelak akan tumbuh menjadi peneduh, dan siap dipanen oleh generasi yang temukan kemilikan sempurna sebagai pemimpin bumi, negeri di bawah kolong langit ini.

Tidak semanis mereka menuturkan merdeka, ajal menjemput hina.
Kau miliki sejarah, sekarang habis dihantam babi dalam kegelapan.
Air liur memanggil cepat, tidak sempat redupkan fitnah pada agama.
Di atas meja diperangi warna sampah, negeri kolong langit memikul.
Buku-buku disisakan tahta kebohongan.
Semua paduka, kita tidak ada lagi hamba!



Bandung, 08 Januari 2014

Posting Komentar

0 Komentar