Belum habis buku
yang kubaca, tidak selesai kalimat yang kutulis. Rangkaian kata tentang bagaimana
aku mengeja. Telah terhabisi kanan kiri, waktu-waktu berganti seiring terbitnya
matahari. Tidak sepadan, jumlah yang harus aku tangisi kian bertambah. Tapi
bagiku, air mata tidaklah cukup. Masih banyak cerita yang harus aku karang
dalam lembaran sepiku. Sebagaimana mungkin, seseorang bisa meraih bintang
dengan cara kecewa. Ah, pasti akan ada yang pantas untukku memulai jenjang
langkah.
Bukan waktu
lengah aku membiarkan jasad ini kelak dibiarkan mengering. Aku masih ingin
melahirkan jasad kaku ini agar bisa menebar kasturi. Sebagai syuhada, aku
sangat mendambakan syahid. Tetapi, dalam hari-hari sepi, aku juga sering
bertanya dalam hati. Apakah diriku cukup pantas? Dalam menilai karakteristik
seorang muslim saja, terkadang aku harus diragukan. Oh, dunia, aku terlalu
dalam membiarkan lorong itu ditapaki.
“Tuhan ada di
sampingmu, Kawan!” nasehatku pada diri sendiri.
Jutaan harga
yang sudah aku bayar, ada ribuan kembaliannya yang belum aku terima. Ya,
pengorbanan, aku merasa sudah banyak berkorban, namun belum ada balasan yang
membelai. Tapi ini bukan juga berarti aku sudah putus asa. Dalam keseharianku,
hanya pecundang yang pasrah dengan ketiadaan asa. Aku berjuang, setapak pijakan
aku setia memulai. Bukan juga terlalu memuji mimpi, tapi inilah caraku untuk
mencapai singgasana. Sebab, akulah raja untuk jiwa sepiku.
“Maafkanlah,
ketika kata terima kasih tidak lagi terbalas,” lagi-lagi aku mencoba untuk
menghibur diri sendiri.
Apakah masih ada
tempat? Untuk aku bisa berdiri dan berjalan tanpa harus berhadapan dengan
duri-duri yang indah. Sangat memanjakan mata, aku yang sudah berkali-kali
terperosok, jauh dan bahkan tidak lagi utuh. Di luar batas-batasku sebagai
manusia, jalan itu bersemi seiring ikhlas jiwaku. Pada lautan air mata aku
belajar, melalui keteguhan yang mekar aku tak gentar. Bukan kualitas lidah,
inilah selonsong semangat yang memupukkan hari yang siap dipanen. Olehku, atau
generasi penerus setelahku nanti. Biar waktu yang menjawab.
Sekarang, aku
punya banyak nilai soal kenyataan. Sangat mengecewakan mimpi yang masih
menyala. Tidak, aku tidak akan membiarkan kebijakan lemah diwariskan pada
mereka setelah aku. Akan keterima semua kehendak, biar hasrat ini tersesat
mencari jalan yang terbatasi. Karena jalan itu masih tetap akan terbentang selapang
dada. Selamat datang hari ini, besok datanglah sendiri tanpa harus kutunggu. Aku
sedang sibuk untuk hari ini!
Bandung,
15 Januari 2014
0 Komentar