Sulit untuk
membilah waktu, antara makan dan mencari luang beristirahat. Sampai matahari
hampir terbenam, aku masih di jalan menuju kediaman. Dalam angkot usang
berwarna merah hijau, angin dari jendelanya mengipas rambutku. Mulai kurekam
janji-janji kemarin. Ya, aku teringat dengan keluhan order pelanggan bisnisku.
Maka setiba di rumah pun, aku langsung mengganti kostum. Lalu segera bergegas
kembali.
Dengan celana
selutut, jaket merah, dan topi khasnya aku melangkah keluar. Waktu memang sudah
sangat sempit, baru beberapa meter, azan magrib terdengar memanggil. Aku bersyukur
masih bisa bernafas di sela-sela senja yang menempuh ke barat. Juga diiringi cinta
yang mengharuskanku untuk segera menunaikan kewajibanku padaNya. Ya, aku
langsung menuju masjid Raya Agung Jawa Barat, atau di Bandung lebih dikenal
dengan alun-alun. Suasana ramai seperti halnya taman kota lain, menyambutku
dengan kesibukannya masing-masing. Termasuk aku yang langsung menuju ke tempat wudhu.
Nahas, saat aku
melihat sarung yang disediakan masjid, semuanya sedang dipakai, sedangkan jama’ah
sudah memasuki raka’at ke dua. Dengan berat hati, aku pun kembali keluar,
menunggu sarung di serambi masjid. Mungkin di saat itu, gejolak hatiku mulai
bertarung dengan rasa-rasa yang tidak tenang. Bagaimana tidak? Ayat-ayat suci
yang dibacakan imam jelas terdengar, sedangkan aku duduk santai di beranda
masjid. Memang bukan sendiri, ada ratusan jenis manusia lain yang ada di
lingkaran masjid ini. Tapi sikap mereka sudah membuatku heran semenjak awal menginjak
kota Kembang.
Dulu pertama
kalinya aku ke masjid termegah se-Jawa Barat ini juga di saat menjelang magrib.
Masih kuingat betul, bagaimana kagetnya aku menyaksikan halaman masjid yang
disulap menjadi pasar malam. Bukankah di beberapa kajian yang pernah aku ikuti,
ada yang menerangkan tentang larangan berjualan di area masjid. Ini bukan lagi
di area, malah teras masjid pun sudah banyak yang menjajakan somay, bakso,
bahkan sampai jenis makanan yang disaji di atas panggangan. Sering pula aku
berpas-pasan langkah dengan beberapa perempuan berseragam bohay di sini.
Hati
bertanya-tanya sendiri tentang kenyataan yang aku saksikan kini. Oh, harus bersikap
apa aku sebagai muslim? Bukankah mereka juga muslim? Bagaimana caranya aku
melarang para pelanggan kuliner yang mengenakan pakaian seksi? Entah kepada
siapa aku harus mengadu? Siapa pula yang bisa aku salahkan? Sedangkan sekarang,
aku juga memakai celana pendek. Ah, terpaksa aku menyalahkan diri karena harus
menelan kenyataan ini sendiri.
Ayat-ayat pendek
terus menggema di telingaku. Batinku mulai tidak tahan lagi untuk berlama-lama
di sini. Bukan soal aku tidak betah berada di rumah Allah, tapi ini tentang
bagaimana aku menyingkapi prahara jiwaku. Maka dengan perlahan, aku bergegas ke
sebuah tempat duduk di tengah-tengah halaman masjid. Dan lagi-lagi aku harus
mengutuk diriku sendiri yang hanya bisa menyerahkan ini pada Allah. Keterangan sorot
mata yang dihadiahkan Allah untukku, kali ini dengan terpaksa melihat pasangan
muda mudi bermesraan di hadapan Baitullah. Entah bentuk teguran semacam apa
ini? Terlalu berat ujian ini untukku, ya Allah!
Aku mengeluh
dengan berharap secepatnya diberikan waktu untuk menunaikan kewajiban salat
magrib. Setelah aku melirik jam tangan, detiknya seakan begitu lambat berlari.
Detak jantungku lebih cepat darinya, aku merasakan kekhawatiran yang cukup
besar. Tentang perasaan takut, berdosa, bahkan cemas akan ridha Allah yang aku
harap tidak berkurang. Cobaan pun kini menerpaku lagi, di sela-sela merdu imam
di dalam masjid, telingaku menangkap suara lain.
Lagu yang dinyanyikan
ST12 berdendang peyot, “Asmara ini telah menyakitkanku, cinta menusuk jantungku,
dan merusak hidupku, ooh, asmara kurang apa kupadamu, sampai kau tak kenal aku,
hingga kuterluka,” suara pengamen sambil memetik gitarnya.
Spontan aku
emosi, ingin rasanya aku melemparinya dengan sandal. Bisa-bisanya ia menambah
penderitaan jiwaku. Entah apa maksudnya, atau memang dirinya yang terlalu
biadap. Bingung, heran, dan juga marah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana
aku menyingkapi makhluk yang tidak jelas jiwanya. Entah benaran manusia, atau
iblis, binatang, kecoak, ataukah kuman bakteri. Aku mulai kehilangan akal sehat. Seumur
hidup pun aku tidak pernah mengusir pengemis atau pengamen. Tapi kali ini,
dengan lantang aku menunjuk ke arah jalan raya. Syukur, ia paham maksudku.
Bandung,
16 Januari 2014
0 Komentar