Lagu Letto, Rossa, Geisha, dan entah apalagi berulangkali terputar. Aku enggan menggantinya. Entahlah, rasanya sulit untuk
menyadari, siapa sebenarnya diri ini?
Aku kerap
merasa diri sebagai seniman. Menikmati sisi terindah dari sudut kacamata rasa.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ada seniman yang tidak memiliki karya? Jikapun
aku bisa berkarya, tapi belum pernah benar-benar menarik. Seni yang aku ratapi
terlalu buruk. Tidak keren. Biasa-biasa saja. Semua orang juga bisa seperti
itu. Aku terlalu sibuk. Dan ternyata aku bukanlah seorang seniman.
Aku sering
merasa diri adalah seorang petualang. Berkelana dari satu tempat ke tempat yang
lain. Bertemu dengan orang baru. Mempelajari sesuatu yang berbeda. Mencari satu
hal yang hanya dipuaskan oleh jiwa, dan tidak pernah berhenti melangkah. Tapi
sepertinya aku tidak seperti itu. Aku lebih sering ditemui di meja kerja. Di sudut
kamar. Terpaku dan setiap hari ditampar rasa jenuh. Aku bukan seorang
adventure.
Aku merasa
diri ini adalah manusia yang paling bebas. Merasa boda amat dengan segala hal. Percuma
begini, percuma begitu. Ah, rasa-rasanya seperti cuaca. Tidak jelas. Entah siapa
diri ini? Jenuh tidak akan pernah mendekat dengan kebahagian. Pikiranku tidak
pernah bebas. Membeku dengan banyak mimpi. Entahlah, impian itu semakin jauh
rasanya. Letak kebahagiaan masih tidak lebih dekat dari sebuah kecewa dan putus
asa. Selalu saja seperti itu. Lalu, siapa diri ini sebenarnya? Apa aku harus
pulang? Barangkali ada benarnya kata banyak orang, di kampung sendiri lebih
nyaman.
Nah, di titik
ini pikiranku mulai terbuka. Bukan sebuah kenyamanan yang aku harapkan. Sama halnya
semua ibadah yang aku kerjaan, tidak pernah terlintas di benakku agar terbalas
dengan surga. Memang sudah kewajiban manusia untuk beribadah. Bukan untuk
sebuah surga. Begitulah hidup, kenyamanan tidak mutlak memberi kebahagiaan, sebab
bentuk kebahagian setiap orang sejatinya berbeda.
Sebagai
contoh, ketika aku menjadi seniman, maka bahagia bernapas bersama karyaku; Ketika orang senang dan menghargai karyaku.
Ya, tanpa butuh persetujuan oleh siapapun, aku harus mengakui diri ini sebagai seorang
seniman. Hidupku adalah seni terbaik. Waktu-waktuku berlalu dengan penuh
ratapan. Rasaku adalah puisi, asaku adalah narasi. Seniku bersahabat dengan
kopi. Aroma dan dekap rindunya.
Aku berpacu
dengan waktu. Aku belajar di setiap ratapku. Beragam orang juga telah aku
temui. Keberadaan meja kerja dan kamar tidurku pun tidak mudah dideteksi. Aku benar-benar
seorang petualang. Dan besok malam adalah perjalananku menuju Jogja. Nyetir
dengan jarak lebih 500 Km bukanlah perkara yang bisa berhura-hura. Maka sekaranglah
waktunya aku beristirahat menyiapkan tenaga.
Bogor, 2016