Negeri di Bawah Kaki Para Raksasa: Siapa yang Sebenarnya Mengatur Dunia?

Negeri di Bawah Kaki Para Raksasa: Siapa yang Sebenarnya Mengatur Dunia?


Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia ini diatur oleh sistem.

Ada pemerintahan, ada hukum, ada lembaga yang katanya mewakili rakyat.
Namun semakin lama, semakin terasa bahwa semua itu hanyalah tirai tipis —
di baliknya berdiri para raksasa yang sesungguhnya mengatur segalanya.

Raksasa itu tak berwujud manusia biasa. Mereka tidak butuh panggung politik,
tidak turun ke jalan, tidak muncul di layar berita.
Mereka bekerja dari balik layar, memutar jarum ekonomi dan opini publik dengan satu sentuhan jari.
Mereka bukan pemerintah — justru pemerintahlah yang bekerja untuk mereka.

Ada yang bilang, dunia modern ini bukan lagi soal ideologi, tapi soal kendali.
Kendali atas pikiran, atas pasar, atas keyakinan manusia.
Apa yang kita makan, apa yang kita tonton, bahkan apa yang kita yakini —
semuanya perlahan dibentuk agar menguntungkan para raksasa itu.

Di masa lalu, penjajahan dilakukan dengan senjata dan perang.
Kini penjajahan dilakukan dengan data dan utang.
Kita tidak lagi dipaksa tunduk oleh pasukan bersenjata,
tapi oleh sistem yang membuat kita rela menunduk —
demi pekerjaan, demi gaji, demi ilusi kenyamanan.

Mereka membiarkan kita percaya bahwa kita bebas,
padahal kebebasan yang kita miliki hanyalah kebebasan yang telah diukur dan diawasi.
Kita boleh berbicara, tapi dalam batas yang mereka tentukan.
Kita boleh bermimpi, tapi hanya sejauh yang tidak mengancam mereka.

Bahkan peperangan di era ini pun bukan lagi soal bangsa melawan bangsa,
melainkan korporasi melawan kesadaran.
Negeri-negeri kecil dipaksa menjual sumber daya dengan harga murah,
sementara rakyatnya hanya menjadi statistik di laporan ekonomi dunia.
Dan setiap kali muncul pemimpin yang mencoba melawan sistem itu,
namanya akan dihapus, reputasinya dihancurkan,
lalu sejarah menulisnya sebagai “pemberontak.”

Di tengah semua ini, rakyat biasa terus berjalan di bawah kaki para raksasa —
menatap langit yang semakin jauh, mencari makna dari dunia yang mereka tak pernah benar-benar pahami.
Ada yang menyerah, ada yang pasrah,
namun sebagian kecil tetap berjuang, percaya bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan kekuasaan.

Mereka menulis, berbisik, menanam benih kesadaran di tengah ketakutan.
Mereka tahu mungkin tak akan menang, tapi sadar bahwa diam berarti kalah.

“Raksasa hanya berkuasa selama kita tunduk,” tulis seseorang di dinding kota yang sunyi.
“Begitu kita berhenti takut, mereka kehilangan kekuatan.”

Dan barangkali, di situlah letak revolusi baru —
bukan di jalanan dengan teriakan,
tapi di pikiran-pikiran yang mulai terbuka,
di keberanian untuk mempertanyakan:
siapa yang sebenarnya mengatur dunia ini, dan untuk siapa semua ini berjalan?



Posting Komentar

0 Komentar