Kereta dari arah Jakarta baru saja tiba, meninggalkan riuh langkah penumpang yang bergegas keluar. Di Stasiun Bogor, sore itu, hujan menggantung di langit, seolah menahan sesuatu yang berat.
Dian berdiri di dekat pilar tua, matanya terus menatap ke arah pintu keluar. Ada janji yang membuatnya bertahan di sana, meski jam sudah menunjukkan hampir magrib. Janji sederhana yang ia genggam sejak pagi: bertemu Raka.
“Kalau nanti sempat, kita ketemu di Stasiun Bogor. Aku ada hal penting mau aku bilangin,” begitu pesan Raka pagi tadi.
Dian tersenyum getir. Kata penting itu justru membuatnya gelisah sepanjang hari. Antara harapan dan ketakutan bercampur dalam dadanya.
Orang-orang berlalu-lalang, membawa koper, tas, dan wajah lelah. Setiap sosok yang mirip Raka membuat hatinya berdebar, tapi lagi-lagi itu hanya orang lain.
Waktu berjalan. Satu jam berlalu, Raka tak kunjung datang. Hujan akhirnya jatuh, deras, menenggelamkan suara pengumuman stasiun. Dian masih menunggu, dengan payung kecil yang hanya menutupi separuh tubuhnya.
Air mata bercampur hujan, mengaburkan huruf-huruf itu. Dian terdiam. Stasiun Bogor menjadi saksi janji yang tak pernah ditepati, sekaligus tempat di mana hatinya dibiarkan menggantung.
Kereta berikutnya melintas, gemuruhnya menggetarkan lantai. Dian sadar, hidupnya harus tetap berjalan, meski janji itu sudah tertinggal di peron. Ia melangkah pelan, meninggalkan stasiun dengan hati yang remuk namun berusaha kuat.
Dan hujan, terus mengguyur Bogor, seolah ikut menyembunyikan kesedihannya.
0 Komentar