Perutku bernyanyi,
bukan dengan nada,
tapi dengan bunyi kosong yang bergaung di dalamnya.
Lapar ini bukan sekadar tak makan,
tapi sejarah panjang dari janji yang tak pernah ditepati.
Mereka bilang negeri ini kaya,
tapi kenapa aku harus mengunyah angin
untuk bertahan hidup?
Perutku mengutuk papan reklame
yang menjajakan burger setinggi menara,
sementara aku tak mampu membeli sebungkus nasi kucing.
Aku ingin menulis puisi cinta,
tentang bulan, tentang mata kekasih,
tapi bagaimana mungkin,
jika puisiku terus diganggu bunyi usus
yang menjerit minta haknya?
Tuhan,
katanya Kau Maha Pemurah,
tolong ajarkan pada penguasa
bahwa doa tidak bisa dimakan,
dan ceramah tidak bisa ditelan.
Ini puisiku dari perut yang lapar,
biar menjadi doa,
biar menjadi sumpah serapah,
biar menjadi nyanyian panjang
sampai kenyang benar-benar tiba.
0 Komentar