Di ufuk timur Indonesia, matahari selalu terbit lebih dulu. Namun bagi Papua, cahaya pagi sering terasa seperti kabar palsu—terang di langit, gelap di hati. Di tanah yang kaya emas, tembaga, hutan rimba, dan laut biru ini, luka lama tetap menganga. Luka itu bukan hanya akibat sejarah yang getir, tapi juga hari ini yang tak pernah benar-benar ramah.
Papua adalah kisah yang terus diulang: janji-janji yang tak ditepati, kemakmuran yang tak merata, dan suara rakyat yang tenggelam di riuhnya mesin tambang.
Sejarah Singkat Luka Papua
Papua masuk ke dalam pangkuan Indonesia melalui sejarah yang panjang, penuh tarik-menarik politik internasional, perjanjian rahasia, dan referendum yang kontroversial. Pepera 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat) disebut-sebut sebagai jalan masuk resmi Papua ke Indonesia, tapi prosesnya masih diperdebatkan hingga kini.
- Banyak sejarawan mencatat bahwa Pepera dilakukan hanya dengan 1.026 “wakil” yang memilih, bukan seluruh rakyat Papua.
- Tekanan militer dan diplomasi membuat suara Papua tak pernah benar-benar bebas.
Luka sejarah ini menjadi fondasi kekecewaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kekayaan Alam, Kemiskinan Rakyat
Jika Papua seorang manusia, ia mungkin seperti pekerja yang memanggul emas setiap hari, tapi tidur di lantai tanah.
- Freeport di Timika adalah tambang emas dan tembaga terbesar di dunia.
- Papua juga kaya akan gas alam, minyak, hutan tropis, dan perikanan.
Namun, di balik kekayaan itu, tingkat kemiskinan di Papua adalah yang tertinggi di Indonesia:
Data BPS 2024 mencatat angka kemiskinan Papua mencapai 26,03%, jauh di atas rata-rata nasional 9,36%.
Kekayaan mengalir keluar, rakyat Papua hanya kebagian remah. Jalan aspal mungkin dibangun, tapi akses ke kesehatan dan pendidikan masih seperti mimpi.
Suara yang Sering Dibungkam
Isu Papua bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal hak bicara.
- Aktivis, mahasiswa, dan tokoh adat kerap mengalami intimidasi saat menyuarakan kritik.
- Laporan pelanggaran HAM—mulai dari penangkapan sewenang-wenang hingga kekerasan bersenjata—masih menghiasi berita.
Kebebasan berekspresi seakan menjadi barang mewah di tanah yang kaya ini.
Budaya yang Bertahan di Tengah Badai
Meski badai datang silih berganti, budaya Papua tetap tegak.
- Tarian perang tetap dipentaskan, bukan untuk berperang, tapi menjaga ingatan.
- Ukiran kayu Asmat terus dibuat, bukan sekadar seni, tapi doa dan sejarah yang dibentuk tangan.
- Noken (tas rajut khas Papua) diakui UNESCO sebagai warisan dunia, simbol kerja keras dan kebersamaan.
Budaya menjadi benteng terakhir ketika harapan pada politik sering runtuh.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Meski luka belum sembuh, rakyat Papua tidak berhenti bermimpi.
- Mereka ingin sekolah tanpa takut konflik.
- Mereka ingin rumah sakit yang bisa dijangkau tanpa harus berjalan berhari-hari.
- Mereka ingin jadi tuan di tanah sendiri, bukan sekadar penonton di panggung tambang raksasa.
Harapan inilah yang membuat Papua tetap hidup, meski dunia sering memalingkan wajah.
Luka yang Harus Kita Obati Bersama
Papua bukan sekadar wilayah Indonesia, Papua adalah bagian dari jiwa bangsa ini. Luka Papua adalah luka kita semua. Mengobatinya butuh lebih dari sekadar pembangunan fisik—dibutuhkan keadilan, pengakuan, dan empati.
Jika suatu hari luka itu sembuh, cahaya pagi di Papua akan benar-benar terasa hangat, bukan hanya terang di mata, tapi juga di hati.
0 Komentar