Dua hari lalu, aku
dikejutkan berita kematian. Kiki meninggal dunia tiga hari berselang Idul Adha.
Teman yang selalu sopan menolak tawaran kopi dariku. Orang yang
tidak pernah mau ikut diajak makan sambal-sambal populer di kota ini. Dan rekan
yang kerap terlihat tenang serta mudah tersenyum. Spontan aku terdiam. Tanpa
bertanya lagi, Kiki mana yang meninggal?
Namun tersirat, mengapa anak muda itu pergi begitu cepat?
Sekitar beberapa bulan
lalu, terakhir kali
kami bertemu. Kami duduk di tepi Jalan
Banceuy membicarakan pekerjaan. Tentang pedapatan, serta bagaimana
pengalamannya sebagai kontraktor alat-alat kesehatan. Tidak banyak yang
disampaikannya, selain senyum-senyum seperti menutupi sesuatu. Hingga akhirnya kami
pun beralih topik. Dia yang baru saja menikah, kemudian dikisahkan olehnya perjalanan cinta dengan wanita
pendampingnya itu. Meskipun biasa-biasa saja, tapi cukup mengajariku
tentang keberanian dan ketulusan cinta.
Aku yang diketahuinya
hijrah dari Aceh, menjadi pembahasan kami selanjutnya. Mulai aku kisahkan
tentang konflik, perang, agama, tsunami, politik, hingga ganja. Begitu tercengangnya ia
dengan masa-masa rumit di sana. Sampai tak habis pikir, tingkahnya pun hanya sebagai pendengar
budiman. Terkait penyakit, mulanya
aku merasa lebih parah darinya. Lambung
kami sensitif, namun tidak
aku ketahui derita yang dialami Kiki ternyata melebihi dugaan. Kiki meninggal dunia karena penyakit
lambung akut.
Belum juga satu jam
berita Kiki berlalu, aku kembali disambar kabar duka lain. Pak
Seno, seorang seniman yang kerap membahas masalah sosial dan politik agama
denganku. Darinya pula aku mulai memahami tentang agama Kristen –riwayat
Protestan dan Katolik. Mulai dari sejarah, peradaban, seni, budaya, sosial,
konflik serta ideologi. Meskipun ia bergelar sarjana hukum, tapi kami hampir tidak
pernah menyinggung tentang pidana maupun undang-undang. Mungkin beliau sadar,
aku terlalu kritis untuk membandingkan hukum. Maka setiap pertemuan kami selalu
diawali dengan obrolan seni, biasanya antara lukis atau sastra.
Kebetulan Pak Seno merupakan mualaf,
kisahnya pada saat menjadi muslim sungguh sangat mengesankan. Begitu dramatis,
berseni, serta terbilang scenario Tuhan yang paling mengagumkan. Katanya,
perjalanan hidayahnya itu belum pernah diceritakan pada seorang pun. Dan aku
sama sekali tidak menyadari, kisah tentang pengalaman terbaiknya itu pula yang
menutupi obrolan dan pertemuan kami. Tepat subuh Idul Fitri lalu, Pak Seno
dipanggil Yang Maha Kuasa.
Masih aku kenang betul, di suatu sore kami
pernah berbincang mengenai bumi Palestina. Ci Elly, menerangkan tentang
Palestinaversi Alkitab miliknya. Aku menjelaskan menurut sejarah Islam, Alquran
dan hadist. Nyaris terjadi perdebatan, sebelum Pak Seno menyatukan kedua
pendapat itu. Meskipun aku hampir tak terima, namun Ci Elly mengalihkan topik
tentang sunni dan syiah. Aku yang cukup anti dengan syiah, secara berapi-api
berkoar. Saat Ci Elly susah mengerti tentang Islam –termasuk istilah dan hukum–,
dan Pak Seno yang meluruskannya.
Kabar Kiki dan Pak Seno memang bukan renung
pertamaku tentang kehilangan di tanah rantau ini. Sebelumnya juga pernah datang
kabar tentang kepergian Pak Beres Suniaraja, Rudi, Siska, Jamal, Rosnita, Erna,
Uti, dan Albert. Merekalah para guru-guruku yang pergi sebelum aku, dan sebelum
kita semua.
Alfatihah,
semoga Allah mempertemukan kembali di tempat terbaikNya nanti. Amin.
2 komentar
terimakasih bos tentang infonya dan semoga bermanfaat
ReplyDeletemakasih bos tentang infonya dan salam sukses
ReplyDelete