BLP, Tiga Abjad dari Kita Bertiga

Dan inilah perjuangan kami. Saat-saat melangkah bersama deru debu di jalanan, teriak-teriakan aspal dan sahutan terik trotoar. Aku, Dly Kyboo, dan Boqyes mencoba meniti tangga dari bawah perlawanan waktu. Berbagai latar belakang yang membungkuk di punggung kami, hingga berbeda prinsip dan pendapat dari kita bertiga. Termasuk soal tujuan kami yang selalu ada saja perdebatan dalam mengarungi lautan musik ini.
Aku, yang kala itu lebih dikenal dengan Zrie Kudo. Sebelumnya, aku adalah pejuang bawah tanah bersama kawanan pemberontak. Jalur musik sebagai lorong tempatku berjuang sudah tertanam semenjak aku pertama kalinya mengenal nada open D. Bagiku, aura musik apapun, tetap sama jika tanpa tujuan. Dari dulu sampai sekarang pun, aku tidak pernah membeda-bedakan genre musik, selebihnya mereka yang menilai sendiri musik hanya sekedar seni. Bisa jadi, dalam hal ini aku tergolong fundamental, tetapi bukan itu yang aku cari. Aku punya tujuan tersendiri dalam menempuh gelombang suara. Bukan hiburan, aku menemukan keindahan tersembunyi dalam warna musikku.
Tidak jauh beda, Dly Kyboo yang juga temanku semanjak kecil. Dia tahu betul, apa yang sedang aku perjuangkan dalam dunia musik. Sorak-sorak tidak peduli, bantai, menentang, dan melawan, ia cukup paham. Mungkin langkah kami tidak jauh berbeda soal tujuan, sama-sama mencari jawaban tentang perkara gelap di bawah terik matahari. Hanya saja, aku mengenal Dly Kyboo yang terlalu menyelam di genangan satu genre. Ia adalah nafas terbaik untuk seorang Rapper yang pernah aku kenal. Bukan hanya kualitas suara, ideologinya juga terbilang lumayan tentang hip hop. Sangat berseberang denganku yang dari genre keras, meskipun sama-sama di alur perlawanan. 
Namun, Boqyes punya keunikan tersendiri soal hip hop. Darinya juga aku baru tahu, bahwa di dalamnya terdapat banyak sekali bilahan. Melebihi tirai yang pernah menyelimutiku, Boqyes tampil dengan nuansa hip hop yang berbendera juang. Aku sama sekali tidak menyangka, di dunianya, ia bisa tumbuh bersama duri-duri tajam yang menurutku sangat indah. Pengetahuannya cukup diacung jempol, sampai-sampai aku berani mengadunya dengan penikmat musik dari kota seberang. Akan tetapi, cukup mustahil bagiku, Boqyes bukan seutuhnya pejuang dalam jalurku dan Dly Kyboo. Ia hanya mengibarkan bendera, namun gerilyanya untuk menatap jalan tengah. Tanpa jiwa seorang ksatria, tidak juga ia meneriakan perlawanan yang cukup bersinar bagi gelap lubang di kamarnya.
Seketika, tanpa sengaja, tidak bermaksud untuk menggabungkan semangat di antara kami. Hanya sebatas tujuan masing-masing, kita berangkat dengan kendaraan yang sama. Aku dan Dly Kyboo mungkin hampir sejarak, tapi Boqyes punya tempat tersendiri. Kita mengarungi tempat-tempat yang sama, jalan yang sama dan punya potensi masing-masing untuk mencapai tujuan tersendiri kami. Maka dari itu, tanpa harus memproklamasi seperti anak-anak cengeng, kami mengibarkan bendera untuk kendaraan baru kami. BLP Rap, bukan komunitas ataupun lembaga yang mengayomi anak-anak bencana. Bagi kami, payung ini hanya sebatas peneduh perjalanan yang belum juga usai. Kita belum mati! 
***
Seiring langkah yang dididik oleh waktu, kami betiga mulai menyelinap ke panggung-panggung. Walaupun pada saat itu, aku dan Dly Kyboo merasa bukan ini yang kami cari. Satu jenjang, ke tahap berikutnya, sehingga kami mengira Boqyes sudah menemukan rumahnya. Namun dugaan kami masih kurang, tidak ada pintu rumah yang terbuka untuk Boqyes, tanpa pula singgasananya, mungkin hanya sepantas tempat tidurnya yang nyaman. Ah, apapun itu, bukan berarti kami berhenti menyelami lautan juang bersama. Aku dan Dly Kyboo masih di jalan yang sama, mengira Boqyes yang akan bermimpi indah di dalam kenyenyakannya. Eh, malah Dly Kyboo sendiri yang berdengkur disapu debu jalanan.
Tidak menyurutkan gerak, kami bertiga melayangkan lagi semangat yang terkubur. Sudut-sudut kami hajar, batas langkah kami hanyutkan. Sampai belum jauh kami dari mengayuh, beberapa anggota baru datang tanpa formulir pendaftaran. Sebab kami bukan organisasi manja yang mengastamakan kebersamaan demi sebuah kehormatan. Kami punya luang tersendiri untuk menghirup udara sama-sama, tanpa harus ada proses seleksi yang cukup menghiburku. Sumpah, aku terbahak tak karuan dengan remaja tolol yang mengumpulkan permata dalam kebersamaannya. Bukankah seharusnya ideologi dan hak punya tempatnya, tidak butuh nilai dewa atau mukjizat bagi penganutnya. Meskipun tidak ada perjuangan tanpa pengobanan, bukan berarti harus memakan roti yang dikencingi pecundang.
Massa sudah terkumpul, belum sampai tujuan yang kami tuju, dan ada banyak gerbang istana yang harus kami singgahi. Tidak lagi bertiga, sudah sampai belasan malah. Hampir puluhan, ataupun memang sudah sampai. Aku sendiri tidak terlalu menyibukkan diri untuk menghitung mereka. Selama kami masih di motor yang sama, laju tetap bertarung satu per satu sampai pada tujuannya. Cukup cepat bagiku kebersamaan kami, beberapa di antaranya tiba di halaman rumah mereka dengan tersenyum lega. Hingga kami kembali bertiga lagi, atau masih ada yang tersisa. Bisa jadi berlima. Entahlah, sampai sekarang siapapun mereka tetaplah bersama kami.
Sekarang, setelah enam tahun lalu kami bergerak di jalur yang sama. Semua masih kukenang, roda-roda masih berputar pada semestinya. Belum juga sampai pada tujuan, kami masih mengarungi lautan terdalam di samudera ini. Biar tidak terlihat, karena kami berdasar dari bawah tanah. Bukan nama yang kami cari, tidak juga segepok angka dewa yang harus kami terima. Kami masih punya tujuan masing-masing, sampai kapanpun tetap bergandingan sama ditujuannya. Eh, ada yang terlupakan, di tahap dasar ada beberapa anak manusia yang menyirami bumbu semangat. Dj Eza, HDR, juga segenap para sahabat yang mengibarkan bendera kami di puncak redup. 
Kita masih di jalan sama, di mana kita mengukir sejarah yang hampir dilupakan...

Bandung, 19 Januari 2014 

Posting Komentar

1 Komentar