Dan
inilah perjuangan kami. Saat-saat melangkah bersama deru debu di jalanan,
teriak-teriakan aspal dan sahutan terik trotoar. Aku, Dly Kyboo, dan Boqyes
mencoba meniti tangga dari bawah perlawanan waktu. Berbagai latar belakang yang
membungkuk di punggung kami, hingga berbeda prinsip dan pendapat dari kita
bertiga. Termasuk soal tujuan kami yang selalu ada saja perdebatan dalam
mengarungi lautan musik ini.
Aku,
yang kala itu lebih dikenal dengan Zrie Kudo. Sebelumnya, aku adalah pejuang
bawah tanah bersama kawanan pemberontak. Jalur musik sebagai lorong tempatku
berjuang sudah tertanam semenjak aku pertama kalinya mengenal nada open D. Bagiku, aura
musik apapun, tetap sama jika tanpa tujuan. Dari dulu sampai sekarang pun, aku
tidak pernah membeda-bedakan genre musik, selebihnya mereka yang menilai sendiri musik
hanya sekedar seni. Bisa jadi, dalam hal ini aku tergolong fundamental, tetapi
bukan itu yang aku cari. Aku punya tujuan tersendiri dalam menempuh gelombang
suara. Bukan hiburan, aku menemukan keindahan tersembunyi dalam warna musikku.
Tidak
jauh beda, Dly Kyboo yang juga temanku semanjak kecil. Dia tahu betul, apa yang
sedang aku perjuangkan dalam dunia musik. Sorak-sorak tidak peduli, bantai, menentang, dan melawan, ia cukup paham. Mungkin langkah kami tidak jauh berbeda soal tujuan, sama-sama
mencari jawaban tentang perkara gelap di bawah terik matahari. Hanya saja, aku
mengenal Dly Kyboo yang terlalu menyelam di genangan satu genre. Ia adalah
nafas terbaik untuk seorang Rapper yang pernah aku kenal. Bukan hanya kualitas
suara, ideologinya juga terbilang lumayan tentang hip hop. Sangat berseberang
denganku yang dari genre keras, meskipun sama-sama di alur perlawanan.
Namun,
Boqyes punya keunikan tersendiri soal hip hop. Darinya juga aku baru tahu,
bahwa di dalamnya terdapat banyak sekali bilahan. Melebihi tirai yang pernah menyelimutiku,
Boqyes tampil dengan nuansa hip hop yang berbendera juang. Aku sama sekali
tidak menyangka, di dunianya, ia bisa tumbuh bersama duri-duri tajam yang menurutku sangat indah. Pengetahuannya cukup diacung jempol, sampai-sampai aku berani
mengadunya dengan penikmat musik dari kota seberang. Akan tetapi, cukup
mustahil bagiku, Boqyes bukan seutuhnya pejuang dalam jalurku dan Dly Kyboo. Ia
hanya mengibarkan bendera, namun gerilyanya untuk menatap jalan tengah. Tanpa jiwa seorang ksatria, tidak juga ia meneriakan perlawanan yang cukup bersinar bagi gelap lubang di
kamarnya.
Seketika,
tanpa sengaja, tidak bermaksud untuk menggabungkan semangat di antara kami. Hanya
sebatas tujuan masing-masing, kita berangkat dengan kendaraan yang sama. Aku
dan Dly Kyboo mungkin hampir sejarak, tapi Boqyes punya tempat tersendiri. Kita
mengarungi tempat-tempat yang sama, jalan yang sama dan punya potensi
masing-masing untuk mencapai tujuan tersendiri kami. Maka dari itu, tanpa harus
memproklamasi seperti anak-anak cengeng, kami mengibarkan bendera untuk
kendaraan baru kami. BLP Rap, bukan komunitas ataupun lembaga yang mengayomi
anak-anak bencana. Bagi kami, payung ini hanya sebatas peneduh perjalanan yang
belum juga usai. Kita belum mati!
***
Seiring
langkah yang dididik oleh waktu, kami betiga mulai menyelinap ke
panggung-panggung. Walaupun pada saat itu, aku dan Dly Kyboo merasa bukan ini
yang kami cari. Satu jenjang, ke tahap berikutnya, sehingga kami mengira Boqyes
sudah menemukan rumahnya. Namun dugaan kami masih kurang, tidak ada pintu rumah
yang terbuka untuk Boqyes, tanpa pula singgasananya, mungkin hanya sepantas
tempat tidurnya yang nyaman. Ah, apapun itu, bukan berarti kami berhenti menyelami
lautan juang bersama. Aku dan Dly Kyboo masih di jalan yang sama, mengira Boqyes
yang akan bermimpi indah di dalam kenyenyakannya. Eh, malah Dly Kyboo sendiri
yang berdengkur disapu debu jalanan.
Tidak
menyurutkan gerak, kami bertiga melayangkan lagi semangat yang terkubur. Sudut-sudut
kami hajar, batas langkah kami hanyutkan. Sampai belum jauh kami dari mengayuh,
beberapa anggota baru datang tanpa formulir pendaftaran. Sebab kami bukan
organisasi manja yang mengastamakan kebersamaan demi sebuah kehormatan. Kami
punya luang tersendiri untuk menghirup udara sama-sama, tanpa harus ada proses
seleksi yang cukup menghiburku. Sumpah, aku terbahak tak karuan dengan remaja
tolol yang mengumpulkan permata dalam kebersamaannya. Bukankah seharusnya
ideologi dan hak punya tempatnya, tidak butuh nilai dewa atau mukjizat bagi
penganutnya. Meskipun tidak ada perjuangan tanpa pengobanan, bukan berarti
harus memakan roti yang dikencingi pecundang.
Massa
sudah terkumpul, belum sampai tujuan yang kami tuju, dan ada banyak gerbang
istana yang harus kami singgahi. Tidak lagi bertiga, sudah sampai belasan
malah. Hampir puluhan, ataupun memang sudah sampai. Aku sendiri tidak terlalu
menyibukkan diri untuk menghitung mereka. Selama kami masih di motor yang sama,
laju tetap bertarung satu per satu sampai pada tujuannya. Cukup cepat bagiku
kebersamaan kami, beberapa di antaranya tiba di halaman rumah mereka dengan
tersenyum lega. Hingga kami kembali bertiga lagi, atau masih ada yang tersisa. Bisa jadi berlima. Entahlah,
sampai sekarang siapapun mereka tetaplah bersama kami.
Sekarang,
setelah enam tahun lalu kami bergerak di jalur yang sama. Semua masih kukenang,
roda-roda masih berputar pada semestinya. Belum juga sampai pada tujuan, kami
masih mengarungi lautan terdalam di samudera ini. Biar tidak terlihat, karena
kami berdasar dari bawah tanah. Bukan nama yang kami cari, tidak juga segepok
angka dewa yang harus kami terima. Kami masih punya tujuan masing-masing,
sampai kapanpun tetap bergandingan sama ditujuannya. Eh, ada yang terlupakan,
di tahap dasar ada beberapa anak manusia yang menyirami bumbu semangat. Dj Eza,
HDR, juga segenap para sahabat yang mengibarkan bendera kami di puncak redup.
Kita masih di jalan sama, di mana kita mengukir sejarah yang
hampir dilupakan...
Bandung, 19 Januari 2014
1 Komentar
tak kira tadi blp itu blangpadang :-d
BalasHapus