Binatang-binatang malam
berterbangan memburu cahaya. Tatapan cicak putih pun cukup tajam mengintai
mangsa. Aku termenung, pikiranku melayang ke masa kanak-kanak. Mengenang ayah
yang dulu menuntunku membakar kembang api, juga ibu yang selalu menyiapkan
rendang untuk sahur pertama.
Di tanah rantau ini, aku hanya bisa
menatap gerombolan cicak mengejar nyamuk, serta dendangan nyanyian katak yang
tak bertempo. Terasa hambar, ramadhan kesekian kali ini harus kujalankan
seorang diri. Tidak semeriah tempo hari.
“Ayah, cepat! Orang-orang sudah
menyalakan kembang api di luar!” seruku mengajak ayah keluar rumah.
“Sabar, Nak. Kita yasinan dulu,”
sahut ayah yang masih bersarung usai salat Magrib.
“Halah, Ayah kelamaan,” cetusku tak
peduli dan langsung keluar.
Cahaya kuning keremang-remangan
menghiasi serambi rumah tetangga. Aku ingin ke sana, tapi tidak berani.
Pagar besi yang melingkari rumah itu terlalu tinggi. Bangunan rumahnya pun
cukup gagah berdiri. Hampir lima kali lipat dari rumahku.
“Ayah, lihat! Mereka punya lilin
yang cukup terang,” ucapku kagum ketika mengintip cahaya dari balik pagar
tinggi.
Ayah tidak menjawab apa-apa.
Lidahnya masih terdengar fasih membaca surat yasin.
“Ayah, cepat! Abang melihat mereka
membakar kembang api berwarna,” tukasku melihat seorang anak dari rumah itu
memegang tongkat yang menyalakan api berwarna-warni.
Ayah tetap belum keluar, namun
suaranya tak lagi terdengar membaca ayat-ayat suci. Aku pikir, ayah tidak
mendengarku. Tapi tiba-tiba ayah keluar sambil membawa sebatang bambu yang
menyerupai pentungan. Dan tangan kirinya menenteng jeriken minyak tanah.
Wajahku melemas. Kejadian ini sudah
pernah terjadi di beberapa ramadhan sebelumnya. Bambu itu dijadikan obor, lalu
aku menjadi pusat perhatian orang-orang yang melintas untuk bershalat Tarawih
ke masjid. Ah, walaupun cahayanya lebih besar dari lilin tetangga, tetap saja
aku bosan dengan mainan seperti ini.
“Ayah, Abang mau kembang api! Kayak
itu, Ayah!” rengekku sambil menunjuk anak yang sedang berlari-lari membawa
kembang api berwarna di halaman luas sebelah rumahku.
“Itu mahal, Nak. Kalaupun kita
punya banyak uang, Ayah tidak mau beli yang seperti itu,” ucap Ayah sembari
memegang pundakku.
“Tapi Ayah, Abang pingin,” rengekku
lagi, namun sedikit pelan.
“Nak, itu sama saja seperti
bakar-bakar uang. Mubazir, itu temannya setan,” nasihat ayah lagi. Ia
memperhatikan anak yang aku tunjuk tadi.
“Nanti Lebaran saja Ayah belikan,
tapi Abang harus janji. Puasanya harus full satu bulan,” sambung ayah berbisik
di telingaku. Mungkin ayah luluh melihat mataku yang sudah berkaca-kaca.
Selepas itu, ayah masuk ke dalam
mengambil peci dan selembar sajadah. Aku memperhatikania pergi ke masjid untuk
salat Tarawih. Wajahnya yang sampai sekarang kuingat, ia tersenyum seraya
menoleh lalu melangkahkan kakinya.
Dooor! Suara letusan keras
menyambar gema sautan takbir di masjid. Ibu segera keluar dan meraihku. Segera
dibawanya aku masuk dalam pelukannya. Aku yang tidak mengerti, semakin bingung.
Suara letusan serupa kembali terdengar. Namun kini berkali-kali, seolah
mengikuti detik jarum jam.
“Bu Nidar! Cepat ke simpang
sekarang!” seru seorang pemuda yang menyebut nama ibu dari luar.
“Ada apa?” sahut ibu panik.
“Bapak kena tembak!” tukas pemuda
itu lagi.
Seketika itu aku didera ribuan tanya.
Bagaimana mungkin ayah yang tertembak. Apa ayah seorang pemberontak? Bukan juga
ia seorang tentara. Apa salah ayahku? Orang-orang menjawab: Ia terkena peluru
nyasar. Hingga sejak itu pun aku disandang yatim.
Ah, kini aku sudah dewasa.
Sebaiknya aku lebih mengerti akan peristiwa itu. Lagi pula, sekarang
sudah tidak terdengar lagi letusan seperti itu. Semoga status Aceh damai
bisa bertahan hingga Lebaran tahun ini.(*)
Cerpen
dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi Minggu, 07 Juli 20013.
4 Komentar
cerita nyata bang? eh bang... follow kami laaa
BalasHapusnyata, tapi abang di situ tengganya.. anak-anak yang maen kembang api tu abang, si 'Aku' dalam cerita itu tetangganya ab.. sedih kali dia ;(
HapusSedih kali ceritanya.. ;(
BalasHapusbenarkah? :-s
Hapus