Di dunia yang katanya penuh kebebasan informasi,
kebenaran justru menjadi barang paling mahal —
bukan karena sulit ditemukan,
tapi karena terlalu banyak yang ingin memilikinya.
Setiap hari kita menatap layar, menggulir berita,
menelan potongan-potongan narasi yang disajikan dengan rapi.
Kita mengira sedang mencari kebenaran,
padahal kita sedang disuapi versi kebenaran yang mereka pilihkan.
Media hari ini tak lagi sekadar jendela dunia.
Ia telah berubah menjadi panggung besar,
tempat aktor-aktor politik, korporasi, dan kepentingan global
memainkan naskah yang sudah disiapkan dengan sempurna.
Berita bukan lagi tentang apa yang terjadi,
melainkan tentang apa yang ingin dipercaya publik.
Dan publik?
Kita adalah penonton setia yang rela membayar dengan waktu, perhatian, bahkan
emosi —
demi menikmati sandiwara yang dikemas dengan label “fakta.”
Ada kalanya mereka membuat kita takut agar tunduk.
Ada kalanya mereka membuat kita marah agar saling membenci.
Dan di tengah hiruk-pikuk opini itu,
mereka yang sebenarnya berkuasa tetap duduk tenang di balik layar,
menyaksikan bagaimana satu berita bisa mengguncang bangsa tanpa menembakkan
sebutir peluru pun.
Kebenaran hari ini adalah komoditas.
Ia dijual, dibungkus, dan dikirim ke layar kita dengan harga yang sudah
ditentukan.
Siapa yang punya uang dan pengaruh,
dialah yang berhak menulis ulang realitas.
Sementara di sisi lain,
jurnalis-jurnalis kecil yang berjuang menyuarakan suara rakyat,
ditenggelamkan oleh algoritma, dibungkam dengan pasal,
atau dihapus dari ruang digital dengan satu perintah.
Kita hidup di zaman di mana kebohongan bisa viral lebih cepat daripada
kebenaran.
Zaman ketika citra lebih berharga daripada moralitas.
Dan di tengah kabut informasi ini, sulit membedakan siapa korban, siapa pelaku.
“Kebenaran,” kata seseorang dalam sunyi, “telah menjadi panggung. Dan kita semua sedang berperan.”
Mungkin itu sebabnya dunia terasa bising.
Setiap orang ingin bicara,
tapi sedikit yang benar-benar ingin mendengar.
Dan saat semua orang merasa benar,
tak ada lagi ruang untuk mencari yang benar-benar sejati.
Namun masih ada segelintir orang yang menolak ikut dalam sandiwara ini.
Mereka menulis dengan kejujuran yang getir, berbicara meski tahu akan
dibungkam.
Mereka tak ingin menjadi pahlawan — hanya ingin menjadi saksi,
bahwa di tengah dusta yang berjubah kebenaran,
masih ada suara yang menolak dijual.

0 Komentar