Sejarah
selalu ditulis oleh mereka yang menang.
Namun,
di antara lembaran buku yang rapi dan pidato kenegaraan yang penuh semangat,
ada kisah yang sengaja disembunyikan — kisah tentang orang-orang yang tidak
sempat menulis versi mereka sendiri.
Malam itu, di sebuah rumah tua di
pinggiran kota yang kini telah berubah menjadi kompleks mewah, beberapa orang
berkumpul diam-diam. Mereka bukan para jenderal, bukan pula pemimpin partai
besar. Mereka hanyalah sekelompok buruh, petani, dan guru desa yang merasa
tanah air ini telah dicuri bahkan sebelum merdeka benar-benar bermakna.
Di
atas meja kayu yang rapuh, peta disebar, surat kabar asing dilipat-lipat, dan
satu kalimat tertulis di tengah dinding dengan arang:
“Merdeka bukan untuk mereka yang duduk di istana, tapi
untuk mereka yang lapar di jalanan.”
Revolusi yang diceritakan dalam buku
sejarah sering kali tampak gagah — tentang bendera yang dikibarkan, tembakan
yang menyalak, dan seruan heroik dari para pemimpin.
Namun,
di balik semua itu ada wajah-wajah yang tak disebut: para perempuan yang
menyembunyikan surat perintah di dalam kain sarung bayi mereka, para tukang
becak yang menyelundupkan senjata di bawah tempat duduk, dan para pemuda yang
mati di jalan tanpa nama, hanya meninggalkan bau mesiu dan mimpi yang tak
sempat selesai.
Buku
sejarah menyebut mereka “rakyat,” seolah satu kata itu cukup untuk menampung
seluruh penderitaan dan pengorbanan.
Padahal,
merekalah yang menyalakan api dari bawah — api yang kemudian diklaim oleh
mereka yang duduk di atas.
Setelah merdeka, revolusi yang dulu
diperjuangkan berubah menjadi alat baru untuk kekuasaan.
Orang-orang yang dulu memimpin barisan rakyat kini duduk di kursi empuk,
membangun tembok tinggi, dan menulis ulang cerita agar nama mereka tampak
paling bersinar.
Sedangkan mereka yang dulu berdarah-darah di lapangan, satu per satu menghilang
— ada yang dibungkam, ada yang dipenjara, ada yang sekadar dilupakan.
Seorang kakek pernah berkata:
“Kami berjuang bukan untuk patung di
taman kota. Kami berjuang agar anak-anak bisa makan dengan tenang.”
Namun
kini, patung-patung itu berdiri megah, sementara anak-anaknya masih menunggu
keadilan yang tak kunjung datang.
Dan di situlah bayangan revolusi itu
hidup — bukan di buku pelajaran, bukan di peringatan hari nasional, tapi di
hati orang-orang kecil yang masih percaya bahwa kemerdekaan belum selesai.
Mereka
yang menolak tunduk pada kebohongan, yang memilih melawan meski tahu akan kalah,
yang berbisik di antara reruntuhan:
“Sejarah akan menulis ulang dirinya sendiri, suatu hari
nanti.”
Karena pada akhirnya, revolusi sejati
bukanlah tentang mengganti penguasa,
melainkan mengganti cara manusia memandang sesamanya. Dan selama masih ada yang
berani mempertanyakan kebenaran resmi, bayang-bayang itu akan tetap hidup —
menunggu saatnya keluar dari balik halaman yang kosong.

0 Komentar