Mahasiswa abadi yang tak pernah tamat, seperti puisi-puisi yang ia tulis tanpa tanda titik. Fakultas? Entahlah. Ia sendiri sudah lupa nomor induk mahasiswanya. Kampus hanya jadi halte persinggahan: tempat diskusi, tempat berkumpul, tempat berteriak di mimbar aksi.
Ia muslim, tapi tak pernah selesai dengan Tuhannya. Shalat sering bolong, rokok tak pernah lepas, bahkan bir sesekali menemaninya larut malam. Ia tahu itu haram, tapi selalu ada seribu alasan untuk tetap melakukannya.
Kata Arif, sambil terkekeh getir:
"Aku ini muslim kadaluarsa, tapi bukan berarti berhenti jadi manusia."
Arif memang nakal, tapi tak pernah benar-benar jahat. Ia membela kawan, ia membela rakyat kecil, dan yang paling ia cintai: Palestina.
Dari sekian banyak aksi, dari sekian banyak mimbar, dari sekian banyak bendera yang pernah ia kibarkan, hanya satu bendera yang membuat dadanya berdetak tak karuan. Bendera Palestina di tangan seorang gadis.
Namanya Fatimah.
Mahasiswi kedokteran. Cantik, anggun, berjilbab lebar. Aktivis dakwah yang cerdas, santun, tapi tetap bisa bercanda seperti anak-anak muda lainnya. Putri orang kaya, tapi hidupnya sederhana.
Saat aksi turun ke jalan, dialah yang berteriak paling lantang. Suaranya pecah di udara, menggetarkan dada semua yang mendengar.
Dan Arif, si mahasiswa abadi, hanya bisa ternganga.
Bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tapi karena Fatimah membawa sesuatu yang lebih berat dari dirinya: keyakinan. Sesuatu yang Arif tahu ia tak punya, meski dirinya selalu sok lantang bicara soal perlawanan.
Ia jatuh hati. Jatuh terlalu dalam.
Tapi, ia hanya bisa jatuh sendirian.
Bagaimana mungkin seorang Fatimah akan menoleh pada dirinya?
Seorang aktivis yang lebih sering nongkrong di warung kopi daripada masjid. Seorang yang belum tentu bisa membayar SPP, apalagi biaya rumah sakit. Fatimah seperti cahaya, dan Arif hanyalah asap rokok—mengepul sebentar lalu hilang.
Maka, ia memilih diam.
Diam mencintai. Diam mengagumi.
Cukup dari jauh. Cukup dari sorot mata yang ia curi tiap kali aksi, tiap kali rapat, tiap kali gadis itu mengangkat bendera dengan tulisan besar: FREE GAZA.
Tiga puluh tahun sudah berlalu.
Arif kini bukan lagi mahasiswa. Ia fotografer serabutan, menulis sesekali, dan hidup seadanya. Rambutnya memutih, kerut wajahnya tak bisa ditutupi.
Hari itu ia duduk di kafe sederhana, menunggu klien yang ingin difotokan keluarganya. Saat pintu kafe terbuka, langkahnya terhenti. Waktu seakan berputar mundur.
Fatimah masuk.
Masih sama. Senyumnya, matanya, wajahnya. Bedanya kini, ia sudah mengenakan gamis longgar, jilbabnya tetap besar, dan di sisinya ada seorang pria berjanggut rapi—suaminya. Di belakang mereka, tiga anak remaja mengikuti, tertawa riang.
Arif tercekat.
Tiga puluh tahun, ia tak pernah mengucapkan apa-apa.
Tiga puluh tahun, cintanya tetap diam.
Dan kini, ia melihat sendiri: gadis yang dulu membuatnya jatuh hati, kini menjadi seorang ibu.
Sambil menyalakan rokok, Arif menatap keluar jendela. Ada rasa perih yang sulit dijelaskan, tapi juga ada rasa hangat. Ia tahu, cintanya tak pernah salah. Ia jatuh cinta pada sosok yang benar—meski tak pernah jadi miliknya.
Lalu ia tersenyum kecil.
Karena ia sadar, Fatimah dulu mengajarkannya sesuatu:
Bahwa cinta itu tak selalu harus memiliki.
Bahwa peduli Palestina tak perlu jadi muslim taat, cukup jadi manusia.
Dan bahwa ada cinta yang justru indah karena tak pernah diucapkan.
Di antara kepulan asap rokoknya, Arif berbisik pada dirinya sendiri:
"Bendera itu, ternyata tak hanya berkibar di tangannya.
Tapi juga di dadaku. Selamanya."

0 Komentar