Surat Cinta untuk Penguasa

Surat Cinta untuk Penguasa

Yang Terhormat, Tuan Penguasa,

Apa kabar singgasana empukmu hari ini?
Apakah bantal sutra itu cukup nyaman menopang tidur siangmu, sementara rakyatmu sedang berbaris di dapur umum?

Aku menulis surat ini bukan karena benci, justru karena cinta. Cinta yang getir, cinta yang membuatku ingin menempelengmu sambil berbisik: “Bangun, Kekasihku, rakyatmu sedang sekarat.”

Aku mencintaimu, Tuan Penguasa, seperti seorang istri mencintai suaminya yang pulang dengan aroma parfum wanita lain. Aku tahu engkau menyeleweng, tapi aku terlalu lelah untuk marah, dan terlalu lapar untuk meninggalkanmu.

Engkau pandai berpidato, seperti pujangga merayu kekasihnya. Kata-katamu manis, tapi perut kami tetap kosong. Engkau pandai berjanji, tapi janji itu seperti bunga plastik: indah di mata, busuk di hati.

Tuan Penguasa, aku tidak meminta istana. Aku hanya ingin dapur kami berasap, sekolah kami tidak runtuh, rumah sakit kami tidak menolak orang miskin. Itu saja.
Tapi jika semua itu terlalu berat untukmu, biarlah aku berhenti mencintaimu.

Sebab cinta tanpa keadilan hanyalah kekerasan yang dipoles kata-kata.

Dari rakyat kecil yang masih (entah kenapa) menyebutmu “Yang Mulia.”

Posting Komentar

0 Komentar