Malam itu jalan raya masih sibuk. Mobil-mobil melintas dengan lampu menyilaukan, sebagian berhenti sejenak di perempatan. Di bawah tiang lampu jalan yang temaram, seorang anak kecil berjongkok. Tangannya menengadah, bukan untuk menadah hujan, melainkan menunggu belas kasih pengendara yang sudi menurunkan kaca jendela.
Namanya Raka, baru berumur sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, baju kaosnya robek di bagian bahu. Ia biasa mengamen dengan gitar mainan dari kaleng, tapi malam ini ia hanya duduk diam. Giginya gemeretuk menahan dingin.
“Astagfirullah... masih kecil sudah di jalanan,” gumam seorang ibu dari dalam mobil mewah. Ia buru-buru menaikkan kaca jendela, seakan menolak kutukan yang mungkin menempel dari tatapan bocah jalanan itu. Raka menunduk, bukan karena malu, tapi karena sudah biasa.
Doa itu melayang di udara malam, bercampur dengan asap knalpot dan teriakan klakson. Tidak ada yang menjawab. Tapi Raka tersenyum kecil, karena ia percaya Tuhan lebih suka mendengar doa di tempat-tempat yang dilupakan manusia.
Raka tersenyum kecut. “Kalau pulang, rumahnya juga dingin, Pak. Atapnya bocor. Lagian... kalau aku duduk di sini, siapa tahu ada yang ngasih receh.”
Raka menerima nasi itu dengan mata berbinar. Lampu jalan di atas mereka berkelip lagi, seakan ikut mengamini. Malam tetap ramai, mobil tetap melaju, tapi di bawah cahaya temaram itu, doa seorang anak kecil akhirnya mendapat jawaban—bukan dari langit, tapi dari sesama manusia yang juga terlupakan.
0 Komentar