Meja panjang itu terhampar seperti janji yang tak pernah ditepati. Kain putih menutupinya, bersih, licin, tapi kosong. Tidak ada sepiring nasi, tidak ada sepotong daging, hanya piring-piring kosong berbaris rapi seakan sedang menunggu jamuan yang tak pernah datang.
Gelas-gelas kosong itu berbenturan, menghasilkan bunyi hampa yang anehnya terdengar mewah.
Di ujung meja, seorang lelaki tua memegang sendok, mengetukkannya pelan ke piring kosong. Ia bicara dengan suara penuh wibawa. “Lihatlah, betapa melimpahnya rezeki kita malam ini. Kita semua duduk di meja yang sama, kita semua setara, semua kenyang.”
Orang-orang tertawa. Padahal perut mereka keroncongan. Tapi tak ada yang berani mengaku lapar. Lapar dianggap aib. Lapar dianggap hina. Maka mereka terus menelan ludah, memamerkan gigi putih hasil klinik estetika, dan berkata, “Ya, luar biasa!”
Di sisi meja yang lain, seorang anak kecil yang diundang hanya untuk “meramaikan suasana,” menunduk. Ia menatap piring kosong di depannya, lalu berbisik, “Tapi… aku lapar.”
Anak itu diam, matanya berkaca-kaca. Ia menatap meja, lalu melihat bayangan dirinya di gelas kosong.
Di luar gedung, seorang pengemis mengetuk kaca, melongok ke dalam. Wajahnya tirus, bajunya lusuh. Ia tidak duduk di kursi, tidak punya piring, tapi di tangannya ada sebungkus nasi sisa pemberian orang. Ia makan dengan lahap, tanpa malu, tanpa basa-basi.
Dan malam pun berakhir dengan kenyang yang hanya ada di bibir, sementara perut tetap bernyanyi pilu.
Meja panjang itu tetap kosong. Tapi anehnya, mereka bangga bisa berpura-pura kenyang bersama.

0 Komentar