Tanah yang Dihisap, Air Mata yang Ditambang


Di atas tanah yang basah oleh doa-doa nenek moyang, kini berdiri lubang-lubang besar seperti luka terbuka yang belum sempat diobati. Tanah itu dulu mengajarkan hidup, tapi sekarang justru jadi tempat kematian pelan-pelan. Di Kalimantan, di Papua, di Sumatera — suara hutan tak lagi terdengar, karena telah ditimbun mesin, dibungkam logam, dan dihancurkan oleh nama yang terdengar suci: investasi.

Mereka datang membawa peta, izin, dan jargon pembangunan. Tapi mereka lupa membawa hati.

Konon, negara ini kaya. Tapi kekayaan itu terasa seperti milik orang asing yang tinggal jauh dari bunyi cicak di dinding, jauh dari peluh anak kampung yang mengejar layang-layang putus. Orang-orang di pusat kekuasaan bicara tentang angka dan grafik, tapi mereka lupa bahwa pohon tidak tumbuh dari angka. Sungai tidak mengalir dari rencana kerja lima tahunan.

Di tanah Papua, tambang menjelma seperti dewa pemakan tubuh. Gunung-gunung dikeruk hingga nyaris rata. Air sungai yang dulu jernih kini keruh seperti rahasia yang disembunyikan dari laporan tahunan. Anak-anak lahir dengan tubuh kecil, karena tanah tak lagi bisa memberi makan dengan layak. Tapi yang paling menyakitkan bukan hanya hilangnya makanan — melainkan hilangnya rasa memiliki.

Apa yang terjadi di Papua bukan tragedi lokal. Itu gema dari apa yang telah lebih dulu terjadi di Kalimantan — tempat hutan berubah menjadi bara, dan sungai berubah menjadi jalur angkutan batubara. Sumatera tak jauh berbeda. Di bawah kaki gunung yang dulu disembah, kini berdiri alat-alat raksasa yang tak tahu cara berdoa.

Kita tidak sedang membangun negeri, kita sedang menghabisinya perlahan-lahan dengan senyum di bibir.

Tentu saja selalu ada alasan: demi lapangan kerja, demi pertumbuhan ekonomi, demi kemajuan bangsa. Tapi siapa yang maju? Siapa yang benar-benar dapat pekerjaan? Siapa yang benar-benar menikmati hasil dari tanah yang ditambang habis-habisan?

Rakyat kecil hanya mendapat debu, bukan emas. Hanya mendapat jalan berlumpur, bukan kesejahteraan. Hanya menjadi penonton di rumah sendiri — dan perlahan-lahan diusir tanpa harus diusir secara langsung.

Mungkin kelak, anak-anak kita akan bertanya:
"Kenapa hutan kita habis, Ayah?"
"Kenapa sungai kita mati, Ibu?"
Dan kita hanya bisa menunduk, mencari jawaban di tanah yang sudah tak berbau tanah lagi.

Karena negeri ini bukan lagi rumah.
Ia telah menjadi pasar.
Tempat di mana semuanya bisa dijual — bahkan luka, bahkan duka, bahkan masa depan.

Aceh Besar, Juni 2025

Posting Komentar

0 Komentar