Di jantung hutan Aceh yang pekat dan liar, sebuah suara memecah malam. Bukan suara senapan atau jerit luka, melainkan suara dari sebuah radio tua, menyusup lewat gelombang udara—lantang, penuh percaya diri, menolak untuk ditelan sunyi:
"Di sini Republik Indonesia yang sah. Di sini, Radio Rimba Raya."
Tahun-tahun itu, 1948. Republik masih seumur jagung, tapi sudah digigit berkali-kali oleh kolonial yang tak tahu malu. Di Yogyakarta, ibukota sementara telah jatuh ke tangan Belanda lewat Agresi Militer II. Dunia internasional berpikir republik ini telah tamat.
Tapi tidak bagi Aceh. Tidak bagi hutan. Dan tidak bagi suara yang enggan menyerah.
Jauh dari keramaian kota, di sebuah titik rahasia di Bireuen—Aceh Utara kala itu—sebuah pemancar diselundupkan ke kawasan Dataran Tinggi Gayo, tepatnya di Kampung Rimba Raya, Pintu Rime. Ditopang oleh rakyat, dijaga gerilyawan, dan dirawat oleh keyakinan, pemancar itu tak sekadar menyiarkan informasi. Ia menyiarkan eksistensi, bahwa Republik Indonesia masih hidup, berdetak, dan bersuara.
Radio Rimba Raya adalah perlawanan yang tak mengangkat senjata, tapi mengangkat gelombang. Suaranya menjangkau sejauh India dan Sri Lanka. Dunia tahu: Indonesia belum mati.
Dan di balik itu semua, Aceh menjadi denyut nadi negara yang sedang sekarat. Ia bukan sekadar provinsi. Ia adalah paru-paru dari negeri yang nyaris putus napas.
Tak banyak yang mencatat nama-nama mereka—operator radio, pengintai hutan, penjaga siar—mereka yang siang malam menjaga agar siaran tak terputus, walau logistik serba terbatas, walau Belanda mencarinya seperti memburu hantu.
Dan hari ini, ketika nama Radio Rimba Raya nyaris tenggelam dalam lembar sejarah sekolah, kita lupa bahwa bila bukan karena suara itu—mungkin peta dunia takkan menyisakan merah-putih.
Aceh, di masa itu, bukan hanya menjaga suaranya sendiri. Ia menjaga suara republik ini.
0 Komentar