![]() |
Zao Jun, Myths and Legends of China, 1922 by E. T. C. Werner |
Dulu
sekali, sebelum ada air, api, listrik dan apapun belum ditemukan. Maka tidak ada apa-apa, hanya hamparan bumi, tanpa ada cerita apapun. Setelah ribuan tahun
kemudian, mulai bermunculan dinosaurus dan kecoak yang berimigrasi dari planet
lain. Sebenarnya, hanya kecoak bermaksud datang ke bumi, namun dinasaurus
ikut-ikutan mendarat sebab pintu tol dari bulan sedang mengalami kerusakan.
Maka mereka pun sering terlihat berkeliaran siang dan malam di hamparan
bumi yang masih kosong.
Setelah
jutaan tahun kemudian, zaman pun sudah berganti. Dinosaurus sudah kembali
melanjutkan perjalanannya, sedangkan kecoak masih betah untuk tinggal di bumi hingga sekarang. Air,
api, dan binatang lain sudah ada di bumi, tinggal listrik saja yang belum ada. Namun,
pada masa datangnya manusia, kisah ini pun muncul dari keturunan Tionghua
bajakan.
Alkisah,
ada seorang lelaki yang bernama Zhang Lang. Ia hidup dalam keadaan miskin, namun
Zhang Lang beruntung memiliki istri yang sangat baik dan tidak pernah mengeluh
akan nasib. Malam berganti, siang pun tenggelam di waktu senja, keluarga Zhang
Lang hidup sangat bahagia. Terkadang dua hari tidak makan, mereka hanya minum
air. Empat hari tidak minum, dalam tiga hari mereka terus makan. Ketika tidak
ada makanan dan air, mereka pun kelaparan.
Suatu
hari, istri Zhang Lang yang baik hati pergi ke pasar untuk membayar tagihan
Speedy. Sampai di tengah jalan, ia pun bertemu dengan seorang lelaki tua.
Rambutnya yang gondrong sudah memutih semua, pakaian yang dikenakan juga sangat
tidak layak. Memakai jas, lengkap dengan dasi dan topi merah. Lantas, istri
Zhang Lang yang baik hati itu merasa iba melihat penampilan lelaki tua
tersebut. Sungguh tidak pantas seragam itu dikenakan olehnya.
“Pak
Tua, apakah kau sedang sakit?” tanya istri Zhang Lang penuh waspada.
“Tidak,
Ci. Saya hanya stres, sudah enam kali pemilu tidak jebol,” sahut lelaki tua itu
penuh dengan ratapan.
“Lho?
Mengapa tidak ikut lagi tahun ini?” tanya istri Zhang Lang lagi memberi solusi.
“Saya
trauma, Ci. Dulu sempat jadi ketua kelas, tapi dituduh korupsi,” ujar lelaki
tua itu berharap istri Zhang Lang ikut bersedih.
“Ya
sudah, bersabarlah. Kokoh saya yang pejabat juga mengalami nasib yang sama. Ia dituduh
korupsi, tapi sekarang santai-santai saja di tempat wisata,”
Tidak
terlalu diperpanjang, istri Zhang Lang segera bergegas melanjutkan
perjalanannya. Saat melintas jembatan, tiba-tiba telinganya menangkap suara
seorang wanita dari bawah sana. Tanpa pikir-pikir, istri Zhang Lang langsung
turun mencari suara itu berasal. Sekejap ia teringat, dulu di jembatan ini
pernah megah cerita tentang gadis manis yang bunuh diri. Tapi segera dibuang
jauh pikiran itu, berharap yang akan ia temui bukan makhluk gaib sejenis alien.
“Ci,
tolong! Ci!” suara itu sudah jelas sekarang, ada seorang gadis muda sedang
duduk di atas batu.
“Kamu
kenapa?” tanya istri Zhang Lang penasaran.
“Selendang
saya hilang, saya tidak bisa pulang,”
“Oh,
saya tahu. Seseorang pasti sudah mencurinya,”
“Iya,
Ci. Jadi sekarang, bagaimana saya bisa pulang?”
“Ya,
sudah. Mari ikut saya, kamu boleh tinggal di rumah saya,”
“Terima
kasih, Ci. Semoga Ci dapat banyak rejeki,”
“Eh,
tapi ada syaratnya,”
“Hah?
Apa syaratnya, Ci?”
“Apapun
yang terjadi, kamu tidak boleh datang ke kolam belakang rumah tengah malam. Tidak
boleh membuka tutup penanak nasi, kalau jalan tidak boleh melihat ke belakang. Hmmm... tidak
boleh apa lagi, ya?” sejenak, istri Zhang Lang berpikir,”Pokoknya semua larangan
di dalam dongeng-dongeng, kamu harus patuh! Termasuk tidak berbohong, jika
tidak ingin hidungmu panjang, dan jangan lupa belok kalau ada tikungan,”
“Baik,
Ci. Saya berusaha mengikuti peraturan yang belaku. Jika penyakit berlanjut, hubungi
dokter,”
Setelah
gadis muda itu menandatangani kesepakatan MoU, ia pun ikut bersama istri Zhang
Lang pulang ke rumahnya. Tidak disangka, Zhang Lang yang melihat istrinya
membawa pulang anak gadis yang sangat cantik pun kegirangan bukan main. Walaupun sempat
terlintas kekhawatiran di benaknya, bagaimana membagi jatah makan untuk anggota
keluarga barunya itu. Sedangkan selama ini mereka hidup serba kekurangan.
Setelah
beberapa lama gadis itu hidup di rumah Zhang Lang dan istrinya, secara tidak
sengaja Zhang Lang justru jatuh hati padanya. Maka untuk menarik perhatian si
gadis, siang malam Zhang Lang menyusun strategi gombalnya. Butuh waktu yang
sangat lama, hingga akhirnya gadis itu pun jatuh di pelukan Zhang Lang yang
miskin. Namun nahas, gadis cantik itu malah meminta agar Zhang Lang meninggalkan istrinya, dan pindah ke kota lain.
Sebenarnya,
Zhan Lang sempat ragu, namun cintanya pada gadis itu membuat hatinya buta. Maka
pada tengah malam menjelang musim semi, Zhang Lang minggat dari rumah membawa gadis
cantik pujaannya itu. Istri Zhang Lang yang tidak tahu apa-apa, tidak pernah
berpikir bahwa Zhang Lang akan setega itu padanya. Ia pun menyangka bahwa Zhang
Lang hanya pergi sebentar, dan tidak mengkhhianati cintanya. Sebab istri Zang
Lang percaya, cintanya akan abadi sampai kapan pun.
***
Berhari-hari
ditunggu, Zhang Lang tidak juga pulang. Dicoba untuk menelpon, tapi Alexander
Graham Bell belum lahir. Hatinya pun mendadak kesal, apalagi saat mendengar
anak-anak jalanan menyanyikan lagu ‘Bang Toyib’. Ah, semakin risau saja
batinnya. Meskipun grup band Wali sudah menghiburnya, bahwa ia bukan Bang
Toyib. Mendadak ‘Bang Jali’ yang menambah galau, hampir saja ia menjadi pencari
alamat palsu ke kota seberang.
Sementara
Zhan Lang sedang bersenang-senang dengan gadis cantiknya. Mereka sering belanja ke Carrefour,
main Timezone, juga nonton di XXI. Hingga suatu hari, murka alam pun
berkehendak padanya. Ia terlalu egois, meninggalkan istrinya yang baik demi
perempuan muda yang tidak jelas asal usulnya itu. Mata Zhang Lang mendadak buta,
setelah seekor anak jerapah berhasil masuk ke dalamnya. Nahasnya pun, saat
gadis muda pujaannya mengetahui keadaan Zhang Lang yang sudah buta. Gadis muda
itu pergi meninggalkan Zhang Lang seorang diri.
Sebab
matanya sudah buta, Zhang Lang akhirnya pun menopang dirinya menjadi pengemis. Jalan-jalan
dilewati dengan gelap, bahkan ia tidak bisa melihat lelaki tua yang sudah stres
karena pemilu. Meskipun berkali-kali lelaki tua itu memanggilnya, Zhang Lang
tidak peduli. Kerena ia sadar, dalam kisahnya yang sebenarnya tidak ada tokoh
lelaki tua itu. Adanya cuma istrinya yang baik, gadis muda yang cantik dan
Kaisar Giok (Tian).
Sama
sekali tidak disangka, Zhang Lang tiba di depan rumah yang pernah menceritakan
hidupnya yang beruntung memiliki istri yang sangat baik. Wanita itu membukakan
pintu dan melihat suaminya sudah menjadi pengemis, serta tidak bisa
mengenalinya kerena sudah buta. Meskipun Zhang Lang telah memperlakukannya
dengan buruk, istrinya merasa kasihan kemudian membawanya masuk ke dalam rumah.
Ia memasakkan makanan yang lezat dan melayani suaminya dengan baik. Zhang Lang yang
terkejut karena keramahan itu kemudian menceritakan nasib buruk yang dialaminya
setelah meninggalkan istrinya, serta betapa dirinya merasa sangat menyesal
karena tindakan buruknya itu.
Secara
spontan, penglihatan Zhang Lang kembali pulih setelah ia menangis saat
menceritakan penyesalannya. Dengan penglihatan yang kembali normal, Zhang Lang segera
mengenali bahwa istrinya yang sedang duduk di hadapannya. Merasa bingung dan
sangat malu, ia memutuskan untuk melompat ke dalam tungku perapian dapur yang masih
menyala. Istri Zhang Lang berusaha untuk menyelamatkannya, tetapi hanya salah
satu kakinya yang selamat. Bagaimanapun, istri Zhang Lang telah memaafkannya
setelah melihat penyesalan Zhang Lang yang begitu mendalam. Ia membuat sebuah
kuil kecil di atas tungku dapur sebagai pengingat untuk suaminya. Inilah awal
mula pemujaan Dewa Dapur yang sering dilakukan keturunan Tionghua
menjelang imlek.
*hingga sekarang, korek api terkadang disebut Kaki
Zhang Dan.
Referensi cerita: wikipedia
Bandung, 29 Januari 2014
0 komentar