“Sudahlah,
kau pasti bisa! Buktikan ketangguhan benteng hatimu dari serangan nestapa,”
“Tidak!
Aku tidak kuat, wahai Jiwa. Terlalu rawan bila aku masih berteduh di bawah
sengatan cinta. Kau tahu kan? Aku paling tidak bisa mengartikan cinta lebih
dalam. Apalagi, menilai keanggunan dari kerudung yang samar melalui kaca mata
siluet,”
“Bodoh!
Itu pertanda kau sudah mencintai Riska dari bayangannya. Mau dibawa ke mana
kesetiaanmu? Bukankah kau pernah mendeklamasikan kesetiaanmu melebihi cerita
Ramayana?”
“Jangan!
Aku masih waras, wahai Jiwa! Kau juga masih sehat kan? Jangan kacaukan pikiranku
dengan perdebatan soal cinta denganmu. Kau adalah jiwa, bagian dari ruh yang
mendukung langkahku,”
Di
hadapan cermin, aku bimbang dengan cara pikir yang semakin bercabang. Fitri
meninggalkanku, sedangkan Riska tiba-tiba datang mencairkan gundah. Padahal,
aku belum pernah menatap raut Riska seutuhnya. Kerudungnya terlalu lebar untuk
sorotan mata sipitku.
Sudah
satu bulan Fitri pergi, dinding kejujuran juga telah menuliskan rasa itu mulai
pudar. Apalagi Fitri sempat memintaku untuk mencari penggantinya. Katanya,
tidak ada yang abadi di dunia ini. Apapun itu, tidak akan pernah bisa bertahan
terhadap ujian waktu. Karena mengingat itu, malaikat dan setan pun enggan melakukan
gencatan senjata. Mereka sama-sama mempertahankan wilayahnya di hatiku.
“Kau
adalah pria, pilihanmu tepat yang ada di hadapanmu. Kau tahu kan? Rindu adalah
virus yang paling menyakitkan dari perpisahan,” bisik setan di lubang telinga
kiri.
“Jangan!
Kau adalah pria, kesetiaan adalah mahkota untuk kehormatanmu. Sedangkan kasih
sayang sebagai singgasana dan cinta menjadi istana,” risik malaikat sambil
merapikan kerah bajuku.
“Iya,
kalian benar! Aku akan melupakan Fitri, kemudian mengaplikasikan kesetiaanku
pada Riska,”
Dengan
sekejap kedua mahluk Tuhan itu menghilang seiring suara telepon genggamku. Di
layar tertera nama Riska dan nomornya, batinku mengatakan inilah takdir dari
semua jawaban. Riska mengajakku ke perpustakaan. Benar, ini adalah jalan yang
ditetapkan Tuhan untuk hamba yang diselimuti kegalauan. Setidaknya pikiranku bisa
kembali normal seperti umat manusia lainnya.
Setibanya
di perpustakaan, aku melihat Riska mengenakan baju ungu dengan pesona kerudung lebarnya. Kali ini aku benar-benar melihat sepercik keanggunan
bidadari surga di sudut wajahnya. Hampir saja aku kembali berbicara dengan
jiwa.
“Kita
ke ruang sejarah ya? Riska mau mencari buku tentang peradaban dunia di
Alexandria,”
“Alexandria?
Aku mengenang Cleopatra di sana. Ratu yang kecantikannya mampu membius Julius
Caesar bertekuk lutut,”
“Wah,
kamu mengerti sejarah juga ya? Terus Cleopatra matinya bagaimana?”
“Dia
bunuh diri dengan memasukan tangannya dalam keranjang yang berisi ular
berbisa,”
“Terus
Julius Caesar bagaimana?”
“Iya,
terus kita masuk ke perpustakaan. Lalu baca kelanjutannya,”
Riska
sedikit kesal, tapi aku membantu mencarikannya buku tentang Alexandria. Ketika
ia sedang fokus membaca, aku terkagum dengan bola matanya yang bersinar seperti
kejora. Maka di saat itulah aku mengungkapkan cintaku.
“Maaf,
saya sudah menikah. Suami saya sedang bertugas sebagai relawan di Palestina,
saya tidak ingin mengecewakannya,”
Jawaban
yang sangat dramatis, membawa rasioku terbang mencari Fitri. Segera kuraih
handphone, membaca beberapa SMS lama yang hampir serupa.
-Yang tabah ya, semoga amal ibadah
Fitri diterima di sisiNya
Jiwa!
Aku masih menunggu cahaya, walaupun itu hanya remang..
Banda Aceh, 13 April 2013
0 komentar