Minggu, 19 Mei 2013
Sekitar jam 7 pagi, aku dikagetkan dengan beberapa telpon yang tidak terduga. Pertama dari pemilik nama Oja El Syufa yang bertanya soal transportasi berjenis labi-labi (angkot). Secara spontan, aku langsung didera kebingungan yang cukup mendalam. Sebenarnya aku ini pegawai dinas perhubungan atau anggota FLP yang akan mengikuti rihlah ke Brayeun? Masalahnya, saat itu aku masih dalam keadaan setengah sadar kerena pengaruh mimpi menjadi pejuang intifada di Palestina. Dan akhirnya pun aku kembali lanjut bermimpi dengan judul, kebingungan di kala fajar.
Sekitar jam 7 pagi, aku dikagetkan dengan beberapa telpon yang tidak terduga. Pertama dari pemilik nama Oja El Syufa yang bertanya soal transportasi berjenis labi-labi (angkot). Secara spontan, aku langsung didera kebingungan yang cukup mendalam. Sebenarnya aku ini pegawai dinas perhubungan atau anggota FLP yang akan mengikuti rihlah ke Brayeun? Masalahnya, saat itu aku masih dalam keadaan setengah sadar kerena pengaruh mimpi menjadi pejuang intifada di Palestina. Dan akhirnya pun aku kembali lanjut bermimpi dengan judul, kebingungan di kala fajar.
Selang beberapa saat, suara handphone kembali
merobek lembaran mimpiku. Kali ini datang dari seorang atlet basket
beralmamater SMAN 1 Langsa, Aslan Saputra. Saat itu, Aslan sukses membuatku
kalang kabut dengan mengatakan dirinya sudah berdiri di hadapan pintu rumah.
Jerit-jerit keponakanku juga turut memeriahkan kedatangan Aslan tersebut. Aku
yang masih di dalam kehangatan selimut pun terhentak dari mimpi-mimpi fajar.
“Aslan, tunggu bentar ya,”
“Iya, Bang. Mandi-mandilah sana,”
Sembari menungguku mandi, ia menikmati secangkir
teh hangat dan beberapa potong kue sebagai sarapan pagi. Tanpa perlu lama, aku
sudah terbiasa dengan mandi ala militer pun hanya membutuhkan waktu yang tak
sampai 5 menit untuk siap. Segala perlengkapan rihlah juga sukses kukemas
secara kilat. Hanya membawa baju, celana training, hingga beberapa alat hiburan
seperti buku dan MP3 Player.
Sepanjang jalan menuju Rumcay, kami habiskan
lika liku perjalanan dengan kisah-kisah inspiratif versi kami masing-masing.
Aslan yang bercerita, aku menyimak. Giliran aku berkisah, ia pun mendengar
dengan penuh keyakinan. Begitulah yang terjadi hingga kami tiba di Rumcay.
Sesampainya di Rumcay, aku langsung menatap
wajah-wajah yang sudah tidak sabar untuk segera melangkah ke Brayeun. Di
antaranya ada Dara, Nuurul Husna, Zahraton Nawra dan beberapa teman-teman
muslimah lainnya di FLP Aceh. Karena merasa belum cukup sadar untuk menikmati
suasana pagi, aku pun menuju warkop favorit yang terletak tepat di depan gang menuju
Rumcay. Maklum, minggu, 19 Mei 2013, adalah untuk pertama kalinya aku bangun di
bawah jam 8 selama bulan Mei.
Ketika sedang asyik menikmati secangkir kopi
sambil membaca berita pagi, Aslan datang menemuiku di warkop. Katanya,
labi-labi akan datang sebentar lagi. Sontak, aku teringat Reza yang belum
tampak batang hidungnya dari tadi. Ke mana dia? Kenapa belum datang? Aku pun
langsung menghubunginya. Namun gagal, telponnya tak terjawab.
“Gimana Bang? Datang Bang Reza?” tanya Aslan.
“Nggak tau ni, kayak masih tidur dia,”
Sudahlah, aku tidak menghubunginya lagi. Kembali
aku lanjut baca koran. Tidak lama, labi-labi hitam datang dan langsung berhenti
di depan Rumcay. Aku segera bergegas dari warkop menuju Rumcay. Ternyata
di sana sudah ramai, sekitar sepuluh ribu orang. Eh, sepertinya aku merasakan
hawa yang berbeda saat berada di depan Rumcay. Seolah ada aroma khas rawa
Tibang berkolaborasi dengan sungai Deli.
Ya, sudah lama aku tidak melihatnya. Si Dodoy,
ia baru pulang dari acara TFT di Medan. Hahaha, saat pertama melihatnya kembali
di Rumcay, aku langsung teringat dengan cerita Dara saat perjalanan mereka ke
Medan. :D (sumpah, sampai sekarang aku ngekeh ala Om Jin mengenang cerita Dara
tentang nahasnya Doni di bus New Pelangi)
Semua sudah berkumpul, saatnya berangkat ke
Brayeun. Tetapi aku kembali teringat soal Reza yang masih alpa. Segera aku
menghubunginnya untuk kesekian kali lagi. Syukur, ia menjawab telponku.
Katanya, ia sedang dalam perjalanan menuju Rumcay. Hanya menunggu sebentar,
Reza tiba dan kami pun berangkat rihlah ke Brayeun.
***
Air yang mengalir sejernih embun fajar Zahra,
seakan rasioku terbang ke sungai Niagara di Ontario. Keindahan alam yang sukar
diceritakan dalam kata-kata Tiara, bahkan lebih indah dari ia yang tampak
cantik di pinggir sungainya. Oh Brayeun, kau membuatku mencium batu-batu di
tepi aliran beningmu. Sial! Aku terpeleset saat pertama menginjak dinginnya
airmu, Brayeun!
Itulah kejadian pertama yang paling aku benci di
acara rihlah kemarin. Lumut-lumutnya tidak seramah penjaga pondok-pondok kecil
di tepi sungai. Bungkusan nasi untuk makan siang kami hampir dicuri oleh si
Brayeun, untung saja aku cepat mengambilnya kembali. Sebagai gantinya,
perlengkapanku di dalam tas basah. Tiket muktamar khilafah dan lembaran
berkas-berkas pentingku dibuatnya seperti muntah alien.
Sembari menahan sakit dan malu, aku mengarungi
sungai sambil menenteng sandal. Nasi untuk makan siang aku titipkan pada Riri
yang ada di belakangku saat tragedi itu terjadi. Ah, aku jera membawa
barang-barang di atas 2 Kg. Apalagi sambil berjalan di atas dasar sungai yang
sama sekali tidak ‘welcome’ terhadap tamunya itu. Dan terakhir aku tahu, bukan
aku saja yang mengalami hal sedemikian kejam, ada Nuurul, Junaidah dan
tamu-tamu lainnya yang didera nahas sepertiku. Kawan, biar Tuhan yang membalas
lumut-lumut alien itu.
Sesampai di seberang, beberapa orang yang
kutemui sepertinya cukup menikmati deritaku. Ah, barangkali mereka belum
menemukan hiburan yang lebih kece dari Riri yang membawa
laptop ke Brayeun. Hahaha, sepertinya Riri berencana meng-update status tentang
keindahan sungai dan prasasti kuno yang ada di dasarnya. Tapi sayang, jaringan
wifi id masih cukup segan dengan lumut-lumut alien itu.
Doni yang menyambutku di seberang sungai
langsung memberi komentar mengenai kekejaman tersebut.
“Hahaha, kenapa kau?”
“F*** OFF!” jawabku yang mulai tidak nyaman
berada di sana.
Kemudian Dara juga datang mencoba menghiburku.
“Aduh Bang, Abang nggak apa-apa kan?”
“Iya, biasa aja,” sautku sambil menahan sakit di
bagian siku.
Lalu Siti juga turut mengomentari soal yang
sama.
“Bang Aril, nasinya nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa,”
Saat itu, aku merasa butuh tempat untuk
melakukan ritual menyan yang dipercaya penganutnya bisa
menimbulkan sensasi nyaman terhadap tempat asing. Di antara teman-teman FLP,
hanya Doni dan Reza yang aku tahu menganut ritual tersebut. Maka aku mengajak
mereka melakukan ritual menyan di suatu tempat. Dan mereka pun
setuju, tempat yang kami pilih pun cukup mendukung untuk upacara kami.
Azan zuhur berkumandang, ritual menyan pun
sukses kami selesaikan. Lalu kami bergegas mencari tempat wudhu terdekat. Di
dalam pencarian tempat wudhu, kami juga bertemu dengan teman-teman rihlah FLP
lain yang juga bertujuan sama. Ada Aslan, Muarif, Ustad Hilal, Munawar dan lainnya.
Kami mengelilingi Brayeun hingga hampir menembus Aceh Tengah, namun akhirnya
kami menemukan tempat wudhu di area parkir.
Beberapa orang terlihat sedang mengantri
menunggu giliran. Tidak lama, giliran kami pun tiba. Aslan yang diawali namanya
dengan huruf abjad ‘A’ terpilih menjadi orang pertama untuk berwudhu. Tetapi,
kami semua tercengang dengan peraturan Ibu yang menjaga tempat itu.
“Dek, bayar dulu 2000 /org. Air ini kami timba
dari sungai,”
“Apa-apaan ini? Dulu aku pernah memakai air dari
keran di halaman gereja, tapi tidak dipungut biaya. Ini yang pejaganya
berjilbab, malah mencari keuntungan di saat orang mencari pahala,” gumam
batinku yang merasa tersinggung dengan peraturan tersebut.
Kami pun beranjak pergi dari sana. Air sungai
terbentang gagah di sebelah jalan, ngapain juga kami harus membayar untuk
berwudhu di tempat harus bayar. Masuk ke lokasi wisata saja aku sudah merogoh
kocek 27 ribu untuk 2 motor dan 1 labi-labi. Masa giliran kami mau beribadah
harus membayar lagi, belum lagi parkir. Huh, Brayeun memang kejam, kawan!
Aku, Doni dan Reza memilih berwudhu di posisi
tempatku nahas. Sedangkan Aslan, Ustad Hilal, Muarif dan lainnya sudah terpisah
dari kami, selepas kesal dengan peraturan wudhu berbayar. Setelah wudhu, kami
kembali kebingungan mencari tempat untuk salat. Semua pondok penuh,
surau-surau kecilnya pun tidak menyisakan sedikit ruang untuk kami sembahyang.
Pikiranku langsung tertuju dengan karpet baru di
Rumcay yang kebetulan juga kami bawa ke sini. Maka aku mengusulkan Reza untuk
membentangkan karpet tersebut di pinggir sungai sebagai tempat untuk kami
salat. Sungguh, aku merasa seperti mujahidin yang salat berjamaah di medan
Afganistan. Terik matahari semakin menyerupai suhu di sana, dan riuh hiruk
pikuk di sekeliling cukup untuk menyamai susana di medan perang. *T-O-P-B-G-T!
Seusai salat, aku dan Reza sudah tidak sabar
untuk mencemplungkan tubuh ke dalam kebeningan air sungai. Dan ternyata Doni
juga memiliki hasrat yang sama, maka kami bertiga langsung bercembur ria ke
sungai dengan penuh kegembiraan. Kami sudah seperti anak suku Zikauwe yang
tinggal di tengah-tengah gurun Sahara yang jarang sekali melihat air. Aku rasa,
jika suku Zikauwe itu datang ke Brayeun, pasti mereka tidak jauh beda dari Reza
dan Doni. :D *tidak denganku, beda kasta
“Woi, sini! Kita main game,” teriak Husna Ay
dari pinggir sungai memecahkan kegembiraan kami.
Kami bertiga pura-pura tidak mendengar, hingga
Husna Ay pun mendadak naik pitam.
“Aril, Doni, Reza! Kembali ke sini, cepat!”
suara teriakan Husna Ay lebih keras dari pertama sambil menggenggam batu
sebesar semangka 5 Kg.
Kami benar-benar berkeringat di dalam air,
akhirnya aku yang pertama kembali. Doni dan Reza pun menyusul di belakangku.
Sesampainya di pinggir sungai, seluruh anggota FLP yang ikut rihlah dibagikan 2
balon per jiwa. Awalnya aku hanya terima-terima saja, sambil meniup-niup pelan
balon itu. Halah, aku tidak bisa meniup balon. Aah, aku tidak berani meniup
balon. Bagiku balon adalah benda kramat yang tidak boleh ditiup...
Sudah, cukup! Aku tidak berani dan tidak bisa
meniup balon. Kawan, aku phobia terhadap terhadap balon yang sudah terisi
udara, apalagi segede balon-balon yang sukses meledak di bibir kawan-kawan
kemarin. Halah, andai saja semua balon-balon segede itu didekatkan ke arahku
kemarin, aku pasti sudah nangis teriak-teriak minta pulang. :( *tolong,
mohon jangan dipraktek. Aku sudah jujur..
Setelah game yang aneh itu selesai. Aku melihat
Ustad Hilal, Muarif dan Aslan sedang bersenang-senang di atas perahu karet.
Sontak jiwaku terpanggil untuk ikut bersama mereka mengarungi sungai Brayeun
yang sejuk, seperti di film Pirates of the Caribbean. Pertualanganku pun dimulai dengan berenang menuju perahu itu dan naik ke atasnya.
Dengan susah payah aku naik ke atas perahu,
tetapi di tengah-tengah sungai beberapa awak perahu mencoba menjatuhkanku ke
dalam sungai. Seolah mereka ingin membuktikan tentang kisah seorang anak yang
beku jasadnya karena tenggelam ke dasar sungai itu.
Sunnguh, itu sama sekali tidak lucu! Tapi andai
saja ada orang selain aku yang jadi tumbal untuk pembuktian itu, mungkin itu
akan lebih menarik. Dan aku yang paling semangat dalam pembuktian tentang
bekunya jasad di dasar sungai tersebut.
Berkali-kali aku menelan air melalui hidung,
otot-ototku juga sudah keram dibuat mereka. Sudah saatnya kembali ke daratan
untuk makan siang. Perutku juga sudah berdering dari tadi. Seampainya di darat,
aku pun langsung mengambil sebungkus nasi, lalu makan bersama Aslan, Muarif,
Riri dan Munawar.
Setiap sesuap nasi yang kutelan, aku menikmati
pemandangan Brayeun yang indah. Benar-benar luar biasa makan siang di pinggir
sungai bersama teman-teman FLP. Tetapi tiba-tiba suara tepat di hadapanku,
membuat kurisih.
“Modus! Modus!”
Haduuh, itu anak ngapain juga teriak-teriak di
depanku. Maksudnya pun tidak jelas, antara buat lucu dan sakit jiwa. Lain lagi
dengan Reza, ia tiba-tiba berbisik pakai bahasa Persia soal sindrom yang didera
temannya Doni yang di hadapanku tersebut. Sudahlah, aku memaklumi saja. Kasian
juga dia, kabarnya pun penyakit itu sudah tumbuh sejak ia pertamakali datang ke bumi. Dasar
alien ubur-ubur yang aneh.
Berbagai keanehan, pertualangan, permainan,
kegembiraan, kesedihan hingga aku lemas seakan mau deman menjelang pulang.
Badanku mendadak panas, maka pada saat pulang aku naik labi-labi agar lebih
nyaman. Walaupun lajunya persis dengan namanya “Labi-labi : kura-kura”, kami
tiba di Rumcay dengan selamat.
***
Saat semua sibuk mengeluarkan motor dari Rumcay,
aku justru sibuk mencari kunci motorku yang hilang. Satu per satu mereka
pulang, tinggal beberapa orang saja memilih salat asar di Rumcay. Aslan, Doni,
Dara, Riri dan Munawar. Setelah salat aku dan Doni kembali melakukan
ritual menyan di warkop favorit depan gang. Kami juga sempat
menyinggung tentang dunia tulis menulis dan juga solusi kegalauan Doni soal
laptopnya sudah hampir menemui ajal.
Ketika sedang khusyuk melakukan upacara, tidak
sengaja aku melihat recent updates di BBM. Lalu mataku mencermat ke sebuah
kalimat di PM Kak Riza, Aku bukan nggak bisa berenang, tapi kakiku yang
nggak sampai ke dasar sungai. Seperti tidak asing dengan kata-kata itu,
seakan kalimat tersebut pernah dihimpit oleh bibirku. Aku mulai curiga dengan
beberapa makhluk yang masih di Rumcay saat itu.
Tidak lama, Doni pun mengajakku kembali ke
Rumcay. Ternyata benar, Kak Riza ada di sana bersama Aslan, Dara, Riri dan
Munawar. Mereka memang sedang membahas masalah kejadian seru dan aneh di
Brayeun tadi. Saat itu, aku memilih diam karena fisikku benar-benar sudah
lemas, mariang bahkan demam.
Dan akhirnya diketahui, kunci motorku terbawa di
tas Reza yang sudah sampai di rumahnya. Maka aku terpaksa menunggu Reza kembali
ke Rumcay hingga azan isya. Sembari menunggunya, aku, Aslan dan Doni membelah
semangka sisa rihlah sebagai makan malam. Setelah itu, kami menghabiskan waktu
malam di Haba Kupi hingga dini hari.
Banda
Aceh, 20 Mei 2013
10 komentar
Wow-wow.... cermat kali penulisannya bg.. haha :D
ReplyDeletetulisan ini keren. detailnya di deskripsikan dengan mantap. Aslan paling suka bagian ini,
Air yang mengalir sejernih embun fajar Zahra, seakan rasioku terbang ke sungai Niagara di Ontario. Keindahan alam yang sukar diceritakan dalam kata-kata Tiara, bahkan lebih indah dari ia yang tampak cantik di pinggir sungainya. Oh Brayeun, kau membuatku mencium batu-batu di tepi aliran beningmu. Sial! Aku terpeleset saat pertama menginjak dinginnya airmu, Brayeun!
cara Abang menjelaskan proses jatuh itu diwarnai dengan deskripsi tempat yang penuh diksi. keren-keren!
huahaha, :v
ReplyDeletesebenarnya aku bingung mau nulis apa dari semalam..
jadinya aku nulis berantakan gitu..
mau di edit tadi sebelum posting, cuma udah malas..
saket semua badan aku gara-gara kecapean..
Iya bg.. aslan bangun pagi juga sakit-sakit semua badan. Baru sadar kalo udah lama gak olahraga. hoho
ReplyDeleteitu lah..
ReplyDeleteyang pas minum jamu cap monyet ni.. :D
teman-teman musslimah maksudnya gimana zri? cak jelasin dulu,,,
ReplyDeleteAh modus modus itu hanyalah seuntai kata sakit jiwanya.. Ogah bahas lagi,,, Yang penting aku telah mendayung boat karet itu dalam kemesraan yang semu.
keren kali tulisan dek ariel ni lah..
ReplyDeleterapi kali ahh...
sering baca Nationa Geogralphic ya?
Doni : hahaha, aku ikut bahagia kalo kau senang :D , judulnya "Kayuhan Mesra Sampan Karet" (y)
ReplyDeleteBang ferhat : apanya keren bang? berantakan gitu -_-"
eh, kok tau abang? tapi cuma national geographic id yang sering dibaca.. klo national geographic luar cuma liat2 gambar sama videonya aja..
secara tidak langsung bang nazri mengatakan bahwa bang doni alien. Hahahahahahaaa,..
ReplyDeleteTulisan ini benar-benar keren.saya kagum dan salut dengan bang nazri.. Menjiwai kali dalam setiap tulisannya..
whahaha :D
ReplyDeletesalah.. salaah!
Bukan Doni ee yang alien..
temannya doni yang aneh itu yang ab maksud alien ubur-ubur.. :D
Oh,.. kawannya bang doni. Kirain bang doni.ckckckckckk..
ReplyDelete:D