
Detik 120 sudah berubah 0 dan berganti dengan 20 dengan warna hijau, berarti sudah saatnya aku lanjutkan lagi perjalanan. Sepanjang jalan yang terpikir di kepalaku adalah apa yang akan terjadi sebentar lagi, apakah hari ini adalah hari yang berpihak padaku?? Karena tadi sebelum berangkat aku belum sempat melihat jurnal hari ini. Jalan mulai tampak sepi karena memang posisiku sedang dihimpit gedung-gedung parlemen pemerintahan kota dan hari ini adalah hari libur jadi wajar saja jalan ini sepi untuk hari ini.
Di dalam keadaan sepi, aku pikir alangkah baiknya kcepatkan laju kendaraan yang menjadi langkah kaki hari ini aku tambahkan kecepatannya. Antara 80 hingga 98km/jam akan mempercepat perjalanan menuju tempat yang sebenarnya aku ragu mengunjunginya.
Suasana seakan mengubah niat untuk bisa secepatnya sampai di tempat yang dituju, maka aku sisipkan waktu untuk singgah di kios persis di
depan RSU yang ada di ujung persimpangan ini. Aku menyalakan korek api dan membakar rokok sambil menikmati lalu lalang penghuni jalan siang ini.
depan RSU yang ada di ujung persimpangan ini. Aku menyalakan korek api dan membakar rokok sambil menikmati lalu lalang penghuni jalan siang ini.
Beberapa jajanan aku selipkan di saku sambil menghidupkan kembali motor yang aku pakir di pinggiran jalan. Tekadku sudah bulat, semua pasti bisa aku hadapi dengan Bissmillah. Gedung yang akan jadikan objek perjalanan hari ini kini sudah berada tepat didepan mata dan aku ucapkan kembali Bissmillah yang di ikuti dengan salam sebelum kaki kanan melangkah masuk pintu utama gedung.
Kini sesuatu yang tidak aku inginkan benar-benar terjadi. Aku berzikir dan terus berzikir melangkah selebar-lebarnya, seakan-akan aku berlari melewati sekumpul orang yang kuanggap petaka. Mereka tersenyum seolah mengamati gerakanku. Aku melihat senyum mereka seperti senyum sinis ala iblis dan itu semakin membuat tubuh ini merasa gerah di tempat yang lebih sejuk 10X lipat dari pada terik panas di jalanan.

Sudah tiba aku di depan pintu ruangan, di mana tempat ini dulu pernah aku jadikan sebagai surga dunia. Seolah aku hidup selamanya di bawah kolong langit ini ketika itu. Hatiku seakan ingin menangis bila membayangkan jutaan perbuatan yang pernah aku lakukan di dalam ruangan yang sebenarnya berdinding neraka ini.
Semua berkas yang ingin aku ambil di ruangan tadi, kini sudah ada di dalam tas yang aku rangkul ini. Saatnya aku pulang ke rumah dan membersihkan tubuh, kemudian menunaikan shalat zuhur karena tidak terasa dan tidak terdengar, bahwa azan zuhur sudah berkumandang ketika aku berada di dalam gedung neraka itu..
Kolong Langit, 2012
0 Komentar