Tentang Puisi Cinta, Insomnia, dan Kancut Berdarah

By Unknown - 6:11 am


Seharusnya pagi datang lebih cepat. Kondisi yang tidak terlalu membuatku aktif. Sejak di kantor berita dulu, bahkan berulangkali terjadi semasa masih berstatus mahasiswa. Sangat rutin malah. Rumit. Malam yang aneh, sepi dan penuh inspirasi. Kinerja otakku seakan berlipat di waktu tengah malam. Namun kali ini sepertinya tidak terarah. Tidak menentu dengan hal yang ingin aku cermati.
Bagian analisaku terganggagu dengan beberapa sampah di memori kepala. Hingga rasa lapar pun tidak mampu membuatku bisa lebih fokus. Aku ingin mengunci satu titik yang bisa dikembangkan hingga menjilati batas. Ah, tentu saja akan banyak orang yang tidak mungkin mampu memahami maksudku. Tapi itu tidak penting. Aku juga seharusnya tidak terlalu peduli. Itu salahmu. Siapa suruh tidak belajar mengfungsikan otak terlebih dahulu?
Eh, ada kemungkinan tidak salah juga. Kau tidak akan salah untuk dirimu sendiri. Aku yang terlalu melampaui makna dari segala makna. Terlalu rumit hingga tak terlihat. Pikiranku pun tenggelam dengan ratap-ratap yang tidak akan penting. Terutama bagi dirimu yang sama sekali tidak penting. Apalagi terkadang, aku meratapi tentang diriku dan tujuan bumi diciptakan. Mungkin seumpama seperti itu yang membuat dinding otakku seakan kian sesak dengan jutaan ratap tentang takaran usia bumi ini.
Ah, entah bagaimana caraku bisa berkarya? Padahal aku ingin hidup untuk itu. Ya, meski karya yang aku bisa hanya menulis. Merangkai kata-kata yang bisa aku baca kembali demi sebuah ketidakpantasan. Mendengarnya berulangkali demi lubang telingaku sendiri. Dan aku merasa lebih hidup sebagai diriku sendiri. Ya, memang ada hari di mana aku lupa tentang diriku sendiri. Siapa diri ini? Siapa aku? Tapi tidak lama. Di saat-saat kemudian, aku kembali sadar. Siapa diri ini? Siapa aku ini? Bodo amat! Siapa pula mau peduli? Siapa juga yang berharap dipedulikan? Sekali lagi, bodo amat!
Aku seniman. Penyair yang menurutku tidak butuh diakui oleh siapapun. Namun aku benar-benar bisa menikmati caraku dalam berprosa. Bermain dangan kata-kata yang membagikan napasku adalah puisi. Ah, aku muak bila didatangkan topik pembicaraan yang mengaitkan cinta adalah puisi, dan puisi juga adalah cinta. Menurut itu tolol. Sangat tolol. Terlalu tolol. Lebih tolol dariku. Pemahaman kata yang tidak akurat. Kurang cermat. Ya, kurang. Aku hargai semua cara berkarya. Aku senang dengan semua seni. Seni yang setidaknya pantas. Dan terpenting, sepantas apa untuk dihargai?
Maka sebab itu, terkadang aku benci kepada mereka yang mengungkapkan cintanya dengan puisi. Mencurahkan segala rasa yang sangat teramat. Berlebihan. Norak, dan terlalu kekanak-kanakan. Aku tidak suka puisi seperti itu. Apalagi tentang patah hati. Terlebih jika penyairnya adalah lelaki. Semakin muak saja. Meskipun itu tidak boleh disalahkan. Sah-sah saja. Toh, puisi sejatinya juga adalah sebuah ungkapan. Dia bagian dari segala rasa. Layar monitor yang hanya bisa disaksikan oleh jiwa-jiwa tertentu. Tapi bukan ke situ maksudku. Ini lebih internal. Lebih personal. 
Ini tentang seorang pria. Aku yang kerap memaki dalam puisi-puisi terbaikku, tentu saja rasanya akan terlalu cengeng. Eh, tunggu! Maksudku juga bukan begitu. Puisi cinta itu sebenarnya keren. Sangat indah, mendalam, dan penuh emosi yang benar-benar hidup. Sangat hidup malah. Tapi bukan puisi cinta yang merendahkan diri sendiri. Apalagi memakai kata-kata norak, lebay, mirip lirik lagu-lagu band bajingan. Penuh kalimat menjijikan, lebih bau dari kancut berdarah.
Dan ketahuilah, lelaki keren itu tidak akan menangis di dalam puisi cintanya. Ya, itu maksudku, puisi yang aku benci adalah puisi cinta yang terkesan merendahkan diri melalui kata-kata indah. Sangat disayangkan. Sangat tolol bahkan. Apalagi puisi penuh plagiat kata-kata norak. Kata-kata sama persis di lirik lagu band-band bajingan. Mendayu-mendayu seperti karet kancut. Sehingga pernah tersirat pertanyaan di benakku, mengapa Tuhan menciptakan lelaki yang serendah itu? Lalu aku menjawabnya sendiri, mungkin sama dengan alasan terciptanya makhluk bernama babi dan banci.
Oya, tambahan tentang air mata cinta sang lelaki, tanpa puisi, dan apalagi babi. Begini. Bila seorang lelaki harus menangis karena patah hati, maka tangisan itu bukanlah untuk si wanita gila yang ada di lubuk hatinya. Di pikirannya juga ada. Di kamar mandi. Di lubang WC. Di dasar sumur. Dan sangat diharapkan berada juga di dasar lubang kuburan. Maka ketahuilah, wahai jiwa-jiwa yang lemah, bahwa air mata lelaki tatkala itu adalah untuk dirinya sendiri. Tentang ratapan diri. Tentang kebodohan yang disesali, dan kesia-siaan rasa yang terlanjur dipermanenkan. Tepatnya, sebab salah menempatkan cinta.
Lalu di mana tempat cinta yang paling benar? Di balik kancut. Cintailah diri Anda sendiri. Buka dan bercerminlah! Anda akan terlihat lebih gagah dari biasanya. Hari ini adalah saat ini. Jadi untuk apa menangisi masa lalu?
Ya, aku juga pernah seperti itu. Wanita pernah membuatku tidak bisa tidur. Tidak ingin tidur tepatnya. Apalagi tatkala menjelang malam. Saat aku yang biasanya aktif dalam melahirkan karya. Tapi itu semua sebab mereka menuding insomnia. Sialan! Aku tidak suka itu. Persetan dengan insomnia! Istilah ini kerap dianggap keren oleh ABG tolol. Bahkan beberapa anak kurang ajar membuat semacam komunitas yang berpacu menuju insomnia itu kekinian. Insomnia itu hebat. Insomnia itu pertanda urban. Insomnia itu status kehormatan. Insomnia itu. Insomnia itu. Bedebah! Tai kucing peranakan babi!
Insomnia itu nama sebuah kecacatan manusia, bego! Cerdaslah! Insomnia itu aib. Penyakit jiwa. Istilah tidak sehat. Tidak wajar. Tidak normal. Dan aneh. Semakin tidak normal, kian disenangi oleh anak-anak sialan. Norak! Bangsat! Hal itu telah lama terjadi. Kebodohan ini sudah terlahir sejak facebook pertamakali bergerilya di jaringan internet Indonesia. Dasar jalang! Entah di mana letak sisi urbannya? Ini persis cara maniak dugem membanggakan diri. Jalang yang memamerkan aib. Bajingan banggakan aib. Jahanam! Simpanlah semua itu di dalam kancut!


Bogor, 2016

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar