Fajar
belum sepenuhnya menyibak tirai malam ketika kabut menuruni lereng-lereng hijau
di pedalaman Pidie. Suara kokok ayam bersahut dengan desir angin yang
menggoyangkan pucuk pinang. Di antara kabut itu, beberapa sosok lelaki berdiri
dalam diam. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi mata mereka menyala oleh
keyakinan. Di udara yang dingin, suara takbir perlahan bergema.
Di tanah ini, tanah yang disebut Serambi Mekkah, sejarah
tak pernah tidur. Ia menulis dirinya sendiri lewat darah dan doa, lewat
perlawanan yang tak pernah padam, bahkan ketika zaman berubah dan dunia
bergeser arah.
Hari itu, 4 Desember 1976, Aceh kembali
berbicara kepada dunia. Dan suara itu keluar dari bibir seorang keturunan
pejuang yang menolak tunduk — Tengku Hasan di Tiro.
Aceh,
sejak ratusan tahun silam, bukan sekadar sebuah wilayah di ujung barat
Nusantara. Ia adalah bangsa yang pernah berdiri dengan martabat sendiri, dengan
sultan-sultan yang berdaulat, ulama yang dihormati, dan pelabuhan yang ramai
oleh kapal dari segala penjuru. Dalam setiap denyut nadinya, mengalir darah
kebebasan dan kehormatan.
Namun, setelah republik berdiri, Aceh
merasa kehilangan dirinya. Rakyat yang dulu menyumbangkan emas untuk pembelian
pesawat pertama Indonesia kini merasa diabaikan. Kekayaan bumi Aceh — gas Arun,
hutan, laut — mengalir keluar, tetapi darah dan keringatnya tertinggal di tanah
sendiri.
Kekecewaan itu mengendap menjadi bara.
Dan dari bara itulah muncul seorang lelaki yang mengingat sejarah leluhurnya, Teungku
Chik di Tiro Muhammad Saman, sang pahlawan yang gugur di tangan
penjajah. Darah itu memanggilnya lagi — kali ini bukan untuk menentang Belanda,
tapi untuk menggugat ketidakadilan di tanah merdeka.
Pagi
itu, 4 Desember 1976, di sebuah tempat sunyi di Gunung Halimun, Pidie, Hasan di
Tiro berdiri di antara para pengikutnya. Di tangannya tergenggam sebuah naskah:
Proklamasi
Kemerdekaan Aceh-Sumatera.
Dengan suara lantang ia membacakan
kalimat yang akan mengubah sejarah:
“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination … do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java.”
Kata-kata itu meluncur ke udara seperti
peluru yang tak terlihat.
Sebagian mendengarnya sebagai panggilan kehormatan. Sebagian lain menilainya
sebagai pemberontakan. Tapi bagi Hasan di Tiro, itu adalah amanah sejarah —
meneruskan perjuangan para syuhada yang telah gugur mempertahankan tanah ini
dari setiap bentuk penjajahan, bahkan jika penjajahan itu datang dari bangsanya
sendiri.
Ia menulis pula dalam naskah itu:
“Our cause is just! Our land is endowed by the Almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory. We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over.”
Sejak hari itu, Aceh memasuki babak baru:
antara idealisme dan darah, antara cita-cita dan kehilangan.
Deklarasi
itu menyebar seperti bisik-bisik di tengah malam. Ia menyalakan api di dada
sebagian rakyat, tapi juga memanggil amarah negara. Senjata berbicara, dan
hutan-hutan Aceh kembali menjadi saksi.
Ratusan, lalu ribuan nyawa melayang.
Anak-anak tumbuh dalam dentuman, ibu-ibu menangis dalam sunyi, dan
lelaki-lelaki muda belajar membedakan suara doa dan suara peluru.
Namun di balik semua itu, ada keteguhan
hati yang tak bisa dihancurkan. Dalam setiap sujud panjang di masjid kecil,
selalu ada doa yang berbisik:
“Ya Allah, berikan kami kemerdekaan dalam arti yang Kau ridai.”
Mungkin itulah yang membuat Aceh tak
pernah benar-benar kalah. Karena bahkan ketika tubuh-tubuh mereka ditundukkan,
semangat mereka tetap tegak — seperti pohon kelapa yang tak bisa dipatahkan
angin, hanya bisa dibengkokkan sesaat.
Damai
akhirnya tiba. Letusan peluru yang dulu membelah senyap malam kini telah reda.
Jalan-jalan yang dulu berdebu darah kini beraspal dan ramai kendaraan. Di bawah
langit Aceh yang teduh, kita bersyukur bahwa perang telah usai, bahwa anak-anak
bisa berangkat sekolah tanpa rasa takut.
Kita bersyukur karena perdamaian
telah memberi ruang bagi napas baru — ruang untuk belajar, bekerja, bercanda,
dan beribadah. Namun di balik syukur itu, ada luka yang belum sembuh: Aceh
belum benar-benar merdeka.
Aceh masih bagian dari Indonesia. Oleh
sebagian orang, itu adalah kemenangan; oleh sebagian lainnya, itu adalah
kompromi. Dulu, siapa pun yang bersekutu dengan pemerintah akan dituduh
pengkhianat, diteror, bahkan dilenyapkan. Tapi kini, banyak di antara mereka
yang dulu mengangkat senjata justru menjadi bagian dari pemerintahan yang dulu
mereka lawan.
Dulu, seragam aparat menjadi simbol
ketakutan. Kini, banyak yang justru bangga ketika anaknya mengenakan seragam
itu. Ironi yang perih, karena di dalamnya tersimpan kenangan ribuan korban —
para suami, ayah, dan anak muda yang tak pernah kembali.
Kita bertanya dalam hati: di mana
keadilan bagi mereka yang gugur? Apakah semua bisa ditebus dengan uang dan
jabatan? Ataukah kemerdekaan kini hanya sebatas ekonomi dan politik, sementara
luka batin tetap menganga?
Hasan di Tiro pernah menulis:
“Our cause is just.”
Dan kata-kata itu masih bergema hingga kini, menjadi pengingat bahwa perjuangan sejati belum berakhir — perjuangan untuk menegakkan keadilan, menjaga harga diri, dan memastikan bahwa darah yang tertumpah di masa lalu tak menjadi sia-sia.
Kini Aceh damai, tapi kedamaian itu
masih terasa rapuh. Ia seperti luka yang sembuh di permukaan, namun masih nyeri
di dalam. Karena sejatinya, perjuangan terbesar bukan lagi melawan senjata,
tapi melawan lupa.
4
Desember bukan hanya tanggal di kalender. Ia adalah suara yang terus bergema
dari masa lalu, mengingatkan kita bahwa bangsa yang pernah berdarah tidak boleh
berhenti bermimpi.
Hasan di Tiro telah tiada. Tapi namanya
hidup dalam sejarah — seperti doa yang tak putus dari setiap mihrab, seperti
desir angin yang membawa pesan di pesisir Ulee Lheue, seperti gema adzan yang
memanggil umatnya kembali pulang.
Dan di setiap fajar 4 Desember, Aceh
masih berbicara kepada dunia —
Bukan lagi dengan senjata, tapi dengan keyakinan bahwa dari tanah yang pernah
berdarah, akan tumbuh bunga kedamaian yang tak pernah layu.
0 Komentar