Ada sesuatu yang perlahan terkikis dari bangsa ini—bukan oleh meriam, bukan oleh perang, bukan oleh bencana, melainkan oleh rasa malu yang tumbuh dari dalam. Malu untuk menyebut dirinya Aceh. Malu untuk berbicara dengan bahasa ibunya sendiri. Malu untuk berdiri dengan adat dan budaya yang pernah menjadikannya bangsa besar.
Yang lebih menyayat hati, ada yang bukan hanya
malu, tetapi juga tega mengolok-olok. Bahasa Aceh dianggap kampungan, adatnya
disebut kuno, budayanya dicap ketinggalan zaman. Seolah-olah menjadi orang Aceh
adalah sebuah aib, bukan kebanggaan. Padahal siapa yang pernah menyebut Aceh
kampungan? Tidak ada, kecuali mereka yang kehilangan akar dan tidak lagi
mengenal dirinya sendiri.
Sejarah pernah mencatat Aceh sebagai bangsa yang
bermarwah. Dari Samudra Pasai hingga Kesultanan Aceh Darussalam, tanah ini
pernah menjadi pusat ilmu, agama, dan perdagangan. Ulama besar lahir di sini,
syiar Islam menyebar dari sini, dan perlawanan terhadap penjajah berakar di
sini. Nama Aceh disegani, bukan hanya di Nusantara, tapi hingga ke jazirah
Arab, India, bahkan Eropa.
Kebesaran itu bukan hanya karena senjata atau
kekuasaan, melainkan karena Aceh punya identitas yang kuat: bahasa yang
menyatukan, adat yang menuntun, dan agama yang menguatkan. Bahasa Aceh bukan
sekadar alat komunikasi, ia adalah ruh bangsa. Adat Aceh bukan sekadar tradisi,
ia adalah pondasi marwah.
Namun hari ini, kebesaran itu perlahan terkikis
oleh rasa malu yang tidak beralasan.
“Modern” sering dijadikan alasan untuk meninggalkan
bahasa dan budaya. Seakan-akan berbicara bahasa Aceh adalah tanda ketinggalan
zaman, dan berpegang pada adat adalah hambatan kemajuan. Padahal modernitas
tidak pernah berarti harus tercerabut dari akar.
Lihat Jepang: modern, tetapi tetap dengan
bahasanya. Lihat Korea: maju, tetapi budayanya justru menjadi kebanggaan dunia.
Lihat Turki: berlari dengan teknologi, tetapi tetap berakar pada sejarahnya.
Mengapa Aceh harus merasa rendah diri di tanahnya
sendiri? Apakah menjadi modern berarti harus kehilangan bahasa dan adat? Tidak.
Yang sebenarnya terjadi adalah rasa rendah diri yang membutakan, membuat
sebagian orang Aceh rela meninggalkan jati diri demi sebuah bayangan palsu
tentang kemajuan.
Paling menyakitkan adalah ketika olok-olok itu
datang bukan dari orang luar, melainkan dari anak Aceh sendiri. Mereka yang
seharusnya menjaga, justru menertawakan. Mereka yang seharusnya bangga, justru
malu.
Hari ini, generasi muda bahkan menjadikan bahasa
dan budaya Aceh sebagai bahan komedi di media sosial. Logat Aceh diparodikan,
kata-kata Aceh dijadikan lelucon. Dan ketika ada yang menegur, mereka akan
membalas dengan tuduhan: “tidak bisa bercanda, kaku, kuno, orang kampung yang
udik, terlalu baper, tidak paham sarkas.” Seolah-olah identitas bangsa sendiri
pantas dijadikan bahan olok-olok atas nama hiburan.
Padahal, menurut data kebahasaan, sudah ada puluhan
bahasa daerah di Indonesia yang punah karena ditinggalkan penuturnya sendiri.
Begitu sebuah bahasa berhenti dipakai, ia tidak sekadar hilang, tapi juga
menghapus memori kolektif, sejarah, dan jati diri bangsa pemiliknya. Apakah
kita ingin bahasa Aceh bernasib sama?
Kehilangan bahasa berarti kehilangan ruh.
Kehilangan adat berarti kehilangan marwah. Dan kehilangan identitas, berarti
kehilangan bangsa.
Aku menulis ini dengan hati yang sakit. Sakit
karena aku tahu betapa berharganya bahasa dan budaya itu, tapi juga melihat
betapa banyak orang Aceh yang meremehkannya. Sakit karena aku mencintai Aceh,
sementara sebagian orang Aceh sendiri malu mengakuinya.
Aku teringat sebuah pengalaman di tahun 2010, di
sebuah busway di Jakarta. Aku bersama seorang teman—seorang dokter—berbicara
dalam bahasa Aceh sepanjang perjalanan. Karena bus agak penuh, kami berdiri
berdekatan. Aku tidak peduli pada sekitar, sebab bagiku berbicara dalam bahasa
Aceh di tanah perantauan adalah sebuah kebahagiaan kecil, sebuah pelepas rindu.
Saat turun di halte, temanku berbisik dalam bahasa
Aceh, “Tadi di belakangku ada anak Aceh yang menertawakan kita. Aku dengar mereka
bilang, ‘udah sampai Jakarta tapi masih ngomong bahasa Aceh.’”
Aku sempat heran, juga setengah emosi. Salah apa
kami berbicara dengan bahasa kami sendiri? Bukankah itu hak dan kebanggaan?
Namun temanku menenangkan. Katanya, mereka mungkin mahasiswa baru, masih kuliah
dengan biaya penuh dari orang tua, baru beberapa bulan di Jakarta.
Aku mengangguk, mencoba memahami. Sebab sejatinya,
perantau Aceh yang mendengar sesama Aceh berbicara dalam bahasa ibu, biasanya
justru akan menyapa, mengakrabkan diri, dan menganggapnya saudara. Begitu
rindunya kita pada Aceh saat jauh di rantau.
Namun hari itu, justru aku disambut dengan ejekan
dari anak Aceh sendiri. Dan luka itu masih terasa sampai sekarang.
Aceh bukan sekadar nama. Ia adalah darah yang
mengalir, tanah yang kita pijak, jiwa yang membentuk siapa kita. Dan siapa pun
yang malu menyebut dirinya Aceh, sebenarnya sedang menolak bagian dari dirinya
sendiri.
Kalau kita biarkan rasa malu ini terus tumbuh, Aceh
akan kehilangan dirinya. Mungkin namanya masih ada di peta, tapi jiwanya akan
kosong. Mungkin tanahnya masih ada, tapi bangsa yang menghuni akan asing
terhadap dirinya sendiri.
Karena itu, mari kembali merawat bahasa Aceh di
rumah, di jalan, di sekolah, di ruang publik. Mari tegakkan adat bukan sebagai
hiasan, tapi sebagai tuntunan. Mari kita ingatkan bahwa modernitas tidak pernah
berarti mengkhianati identitas.
Aceh tidak akan hilang selama kita masih percaya
bahwa bahasa, budaya, dan agama adalah tiga pilar yang membuat kita ada. Jangan
biarkan generasi kita menjadi generasi yang menggadaikan identitasnya demi
gengsi sesaat.
Aceh adalah kita. Kita adalah Aceh. Dan selama kita
bangga menyebut diri kita Aceh, identitas itu akan tetap hidup.

0 Komentar