Narasi di Titik Pikiran Diri Ini

By Unknown - 11:40 pm

Lagu Letto, Rossa, Geisha, dan entah apalagi berulangkali terputar. Aku enggan menggantinya. Entahlah, rasanya sulit untuk menyadari, siapa sebenarnya diri ini?
Aku kerap merasa diri sebagai seniman. Menikmati sisi terindah dari sudut kacamata rasa. Akan tetapi, bagaimana mungkin ada seniman yang tidak memiliki karya? Jikapun aku bisa berkarya, tapi belum pernah benar-benar menarik. Seni yang aku ratapi terlalu buruk. Tidak keren. Biasa-biasa saja. Semua orang juga bisa seperti itu. Aku terlalu sibuk. Dan ternyata aku bukanlah seorang seniman.  
Aku sering merasa diri adalah seorang petualang. Berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain. Bertemu dengan orang baru. Mempelajari sesuatu yang berbeda. Mencari satu hal yang hanya dipuaskan oleh jiwa, dan tidak pernah berhenti melangkah. Tapi sepertinya aku tidak seperti itu. Aku lebih sering ditemui di meja kerja. Di sudut kamar. Terpaku dan setiap hari ditampar rasa jenuh. Aku bukan seorang adventure.
Aku merasa diri ini adalah manusia yang paling bebas. Merasa boda amat dengan segala hal. Percuma begini, percuma begitu. Ah, rasa-rasanya seperti cuaca. Tidak jelas. Entah siapa diri ini? Jenuh tidak akan pernah mendekat dengan kebahagian. Pikiranku tidak pernah bebas. Membeku dengan banyak mimpi. Entahlah, impian itu semakin jauh rasanya. Letak kebahagiaan masih tidak lebih dekat dari sebuah kecewa dan putus asa. Selalu saja seperti itu. Lalu, siapa diri ini sebenarnya? Apa aku harus pulang? Barangkali ada benarnya kata banyak orang, di kampung sendiri lebih nyaman.
Nah, di titik ini pikiranku mulai terbuka. Bukan sebuah kenyamanan yang aku harapkan. Sama halnya semua ibadah yang aku kerjaan, tidak pernah terlintas di benakku agar terbalas dengan surga. Memang sudah kewajiban manusia untuk beribadah. Bukan untuk sebuah surga. Begitulah hidup, kenyamanan tidak mutlak memberi kebahagiaan, sebab bentuk kebahagian setiap orang sejatinya berbeda.
Sebagai contoh, ketika aku menjadi seniman, maka bahagia bernapas bersama karyaku; Ketika orang senang dan menghargai karyaku. Ya, tanpa butuh persetujuan oleh siapapun, aku harus mengakui diri ini sebagai seorang seniman. Hidupku adalah seni terbaik. Waktu-waktuku berlalu dengan penuh ratapan. Rasaku adalah puisi, asaku adalah narasi. Seniku bersahabat dengan kopi. Aroma dan dekap rindunya.
Aku berpacu dengan waktu. Aku belajar di setiap ratapku. Beragam orang juga telah aku temui. Keberadaan meja kerja dan kamar tidurku pun tidak mudah dideteksi. Aku benar-benar seorang petualang. Dan besok malam adalah perjalananku menuju Jogja. Nyetir dengan jarak lebih 500 Km bukanlah perkara yang bisa berhura-hura. Maka sekaranglah waktunya aku beristirahat menyiapkan tenaga.
Bogor, 2016

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Harus baca beberapa kali baru paham isi maknanya hehe

    ReplyDelete