Ada Banyak Modal Sejarah dan Budaya untuk Bangsa Kita Berjaya

By Unknown - 4:48 am

Berkenan dengan tema ‘Punyakah Kita Modal Sejarah dan Budaya untuk Bangsa Kita Berjaya?' yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul 'Batik dan Kasih Ibu' di www.darwinsaleh.comsaya berpandangan bahwa saya sangat setuju batik merupakan 'Pengabdian Cinta tak Berkata'. Karena ukiran dalam batik sendiri adalah warisan turun-temurun yang dihadiahkan oleh para leluhur untuk generasinya, yaitu kita Bangsa Indoensia.  Ini bukan sekedar untuk dibanggakan, kita juga memiliki kewajiban untuk menjaga serta melestarikan tradisi ini hingga ke anak cucu kita kelak.
Maka sebab itu, saya juga berpendapat bahwa kita tidak bisa menjual warisan apapun, dari siapapun, dan juga kepada siapapun. Meski demi kenyataannya, sang pewaris sudah merestuinya. Seperti halnya dalam sejarah dan budaya, karena ia bernilai tinggi, bukan berarti kita bisa mudah menukarnya dengan yang lain. Sebab sekecil apapun sudah menjadi milik orang lain, tidak akan pernah bisa kembali menjadi pribadi lagi
Maksud saya, sejarah dan budaya di negeri ini sangat banyak sekali. Beribu-ribu malah. Hanya saja, kita terlalu menimbang-nimbang sebesar apa warisan itu di mata muda kelak. Sedikit lepas dari pesan (artikel) ‘Batik dan Kasih Ibu’, kita punya sejarah perjuangan yang cukup patut dibanggakan, lalu mengapa sekarang keringat itu seolah hanya kisah dongeng belaka? Terlebih menyakitkan, banyak dari darah bangsa kita yang justru mengabadikan dongeng menjadi sejarah. Dengan kata lain, sejarah menjadi dongeng, sedangkan dongeng malah diabadikan sebagai sejarah. Sebagai contoh, drama roh bergentayangan moral lebih populer, daripada tumpahnya darah pengorbanan Teuku Umar di Aceh.
Seperti pada pesan (artikel) yang berjudul, ‘Yang Masih Misteri di Nusantara’ di www.darwinsaleh.com. Terbukti bukan? Bahwa bukan tentang sejarah yang sekarang digemari kaum muda. Mungkin disaat orang asing sedang  sibuk menyelami permata intan di lautan Nusantara, kita juga akan sok berbangga bahwa di tanah kita terdapat kekayaan itu. Padahal, semua itu sama sekali tidak kita temukan sebelumnya, dan tidak secuilnya pun yang kita rasakan setelah dibawa pulang oleh penyelam asing tersebut. Lalu kita menjadi apa? Ya, akan sama seperti yang sudah-sudah. Membaca buku sejarah yang berharga dari terjemahan bahasa asing, sebab kita tidak pernah menemukannya. Boro-boro bisa ikut mengambil bagian dari hasilnya, karya terjemahannya saja kita harus membayarnya.
Kembali lagi ke pandangan saya tentang pesan (artikel) ‘Batik dan Kasih Ibu’ di atas. Dibajak! Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata itu? Tidak ada yang luput dari pembajakan di negeri kaya ini. Semua serba bajakan, bahkan hampir saja kita rasakan merdeka bajakan kala Orde Baru silam. Lantas, apa yang kita punya? Banyak, saya menjawab sangat teramat banyak sekali. Setiap selangkah kita berjalan dari Sabang sampai Merauke, coba tanyakan pada tanah-tanah yang dipijak. Karena alasan apa negeri ini dijajah dulunya? Lantas, mengapa sepanjang jalan Braga di Bandung, kita sanjung-sanjungkan bangunan penjajah. Setinggi-tingginya menara di Jakarta Pusat dan Selatan sekarang, kita hanya bisa tampil sok elite dari baris kemacetan Ibukota. Lalu, pernahkah kita mengabadikan senja di hamparan para makam pahlawan? Saya rasa kita lupa karya patung tokoh para pejuang di perempatan jalan.
Selain batik, apa sebelumnya kita mampu pertahankan bahasa Indonesia di mata internasional? Tidak lebih dari sikap sok cuek dan merasa keren dengan sapaan ‘Bro, Sista, Boy, ataupun Guys!’ daripada ‘Bang, Sampeyan, Neng, Mpok maupun Saudara dan Kawan’. Seakan lelucon memang, tetapi apa yang terjadi ke depan? Nasib bahasa kebanggaan kita akan melebur sendiri sebatas pelajaran di sekolah dasar. Mungkin akan setragis bahasa Melayu di negara tetangga Singapura. Alamak! Janganlah sampai rupiah dikoyak dollar yang karena hampir seluruh Eropa menggunakannya. Sekarang kita tertawa bangga, besok kita menangis karena kehilangan jati diri kita. 
Ukiran-ukiran indah di lembaran kain itu, kini bukan hanya kita yang miliki rakaian anggunnya. Pernah saya menemukan penjual batik yang menawarkan dagangannya begini, “Bos, mampir! Ini ada batik Cina yang baru nyampe,” Sejenak, saya terkejut bukan main. Batik Cina? Mengapa tidak batik Inggris saja sekalian! Itu jelas-jelas punya bangsa kita! Bahkan teman saya yang berkebangsaan Amerika juga mengakuinya, bahwa batik adalah warisan Indonesia untuk dunia. Lah, apa? Mau dibawa ke mana muka kita? Bisnis sudah menjadi senjata penjajah di negeri ini. Tidak hanya sejarah, budaya juga sudah banyak yang kabur dari tanah kelahirannya. Kalau boleh jujur, saya malu ketika mendengar tarian 'Seudati dan Saman' lebih dikenal di New York daripada di Jakarta. Spontan saya melirih doa dalam hati, “Tuhan! Jangan kutuk kami dengan hadiah yang tidak kami ketahui,” 

Sejauh ini, saya melihat bangsa kita punya budaya yang cukup berpotensial untuk kejayaan Indonesia tercinta. Pasrah, bukan itu yang seharusnya dibanggakan. Apalagi sampai harus mengeklaim korupsi sebagai tradisi kita. Muka tebal! Korupsi adalah aib, terlalu banyak yang kelaparan di negeri ini. Tingkat yang bersenang di kursinya saja butuh makan, apalagi yang sedang menguras keringat di pingiran jalan. Ini mempertandakan bahwa negara ini tidak cukup makmur untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalih-dalih kita punya tanah yang subur, pejuang kita banyak yang disanjung-sanjung. Cerita berkembang dari zaman nenek moyang sampai anak cucu. Cukup bangga yang telah tiada, namun dilupakan sejak sebotol Djack Daniel dipandang lebih hebat dari segelas bandrek.
Bukan hanya itu, kita juga kerapkali mencium dan mempesonakan diri dengan minyak wangi yang dikirim dari luar negeri. Padahal kita tahu, bahan baku parfum ada yang terbuat dari batang serai, dan tumbuhan itu kebanyakan di-ekspor dari negara kita. Lantas, dari sudut mana saya menerawang potensial kemakmuran negeri ini dari segi sejarah dan budaya? Semua terletak di dada kita. Keris Pangeran Diponegoro akan membelah dunia ini menjadi sepotong kejayaan untuk negeri Nusantara. Golok Pattimura akan menggorok leher internasional untuk jatah Indonesia di meja dunia. Suara lantang Soekarno juga akan mengipas lantang telinga-telinga asing untuk kehormatan bangasa kita tercinta ini. Bagaimana caranya? Tinggal kepercayaan yang seharusnya kita pertanyakan. Selepas itu sejarah akan mengibarkan merah putih lagi, sebangga kain pertama yang jahit Ibu Fatmawati kala pertama merdeka.
Di toko buku atau perpustakaan umum, sekenal apa dengan negara ini? Seakrab apa kita dengan bangsa ini? Sepeduli apa kita dengan tanah ini? Saya menangis kala menyingkapi budaya-budaya kita yang diatasnamakan bangsa lain. Selebih itu apa? Belum ada yang segagah rakyat Aceh yang membunuh Kohler halaman di masjid Raya Baiturrahman silam. Tidak ada lagi seberani Soekarno menantang penjajahan di muka bumi ini. Belum juga kita temukan jiwa-jiwa yang keras dari lirik-lirik lagu nasional. Perang! Ini bukan perang ataupun pembunuhan lagi. Ini sudah melebihi kita yang sibuk menelan daging ayam impor daripada mengasinkan telur bebek kampung.
Mau tidak mau, malu harus malu, semua sudah diracuni media-media yang menjadi wabah penyakit moral. Sehingga seni yang seharusnya menjadi senjata, kini berubah posisi sebagai pemuas nafsu. Sehingga budaya yang seharusnya mengimbangi surga, terpaksa harus berganti dengan aib-aib yang perih. Sejarah yang mengibar seiring upacara Agustus pun koyak seiring lembaran kusam yang dimakan waktu. Perkara bersilih bencana, belum juga kelar rencana meraih kemerdekaan yang sepantasnya. Ladang sejarah seluas langit, budaya terwariskan kian dikenal. Namun sayang, terpaksa harus kembali ditunda sebab muncul lagi yang lebih baru. Salah menyalahkan lebih seru, kritik mengomentari, kemudian yang lebih berkuasa tidak menyingkapi. Sudahlah, Bung! Sampai kapan kita membiarkan waktu mengajari kita membaca serak-serak debu jalanan? 

“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno) 

Salam Indonesia!

Bandung, Januari 2014 


Referensi pendukung: 
- Foto/gambar: google .com 
-Video: youtube.com  

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”

  • Share:

You Might Also Like

6 komentar

  1. ulasan menarik dan tegas, semoga mendapat nilai besar dalam lomba ini (h)

    ReplyDelete
  2. "Buah pemikiran yang tak terelakkan. realita lewat dan tak terhentikan. mari kita hentikan!". bagus neng pemikiramu, berbagilah komentar dengan ini neng >> http://wp.me/p4cs92-3Q

    ReplyDelete
  3. Baru baca. Bagus Ai. Kita memang bangsa yang tak punya muka. Ayo kita pasang lagi muka kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sudah seharusnya, negeri ini bisa berbangga dengan yang kita punya..

      Salam Indonesia! Merdeka!

      Delete