Berkenan dengan tema ‘Punyakah
Kita Modal Sejarah dan Budaya untuk Bangsa Kita Berjaya?' yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul 'Batik dan Kasih Ibu' di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya sangat setuju batik merupakan 'Pengabdian Cinta
tak Berkata'. Karena ukiran dalam batik sendiri adalah warisan turun-temurun
yang dihadiahkan oleh para leluhur untuk generasinya, yaitu kita Bangsa
Indoensia. Ini bukan sekedar untuk dibanggakan, kita juga memiliki
kewajiban untuk menjaga serta melestarikan tradisi ini hingga ke anak cucu kita
kelak.
Maka sebab itu, saya juga
berpendapat bahwa kita tidak bisa menjual warisan apapun, dari siapapun, dan
juga kepada siapapun. Meski demi kenyataannya, sang pewaris sudah merestuinya. Seperti
halnya dalam sejarah dan budaya, karena ia bernilai tinggi, bukan berarti kita
bisa mudah menukarnya dengan yang lain. Sebab sekecil apapun sudah menjadi
milik orang lain, tidak akan pernah bisa kembali menjadi pribadi lagi.
Maksud saya, sejarah dan budaya di negeri ini sangat banyak
sekali. Beribu-ribu malah. Hanya saja, kita terlalu menimbang-nimbang sebesar
apa warisan itu di mata muda kelak. Sedikit lepas dari pesan (artikel) ‘Batik dan Kasih Ibu’, kita punya sejarah perjuangan yang cukup patut dibanggakan,
lalu mengapa sekarang keringat itu seolah hanya kisah dongeng belaka? Terlebih menyakitkan,
banyak dari darah bangsa kita yang justru mengabadikan dongeng menjadi sejarah.
Dengan kata lain, sejarah menjadi dongeng, sedangkan dongeng malah diabadikan sebagai
sejarah. Sebagai contoh, drama roh bergentayangan moral lebih populer, daripada
tumpahnya darah pengorbanan Teuku Umar di Aceh.
Seperti pada pesan (artikel) yang berjudul, ‘Yang Masih Misteri di Nusantara’ di www.darwinsaleh.com.
Terbukti bukan? Bahwa bukan tentang sejarah yang sekarang digemari kaum muda. Mungkin
disaat orang asing sedang sibuk menyelami permata intan di lautan Nusantara, kita juga akan sok berbangga bahwa di tanah kita
terdapat kekayaan itu. Padahal, semua itu sama sekali tidak kita temukan sebelumnya,
dan tidak secuilnya pun yang kita rasakan setelah dibawa pulang oleh penyelam
asing tersebut. Lalu kita menjadi apa? Ya, akan sama seperti yang sudah-sudah. Membaca
buku sejarah yang berharga dari terjemahan bahasa asing, sebab kita tidak
pernah menemukannya. Boro-boro bisa ikut mengambil bagian dari hasilnya, karya
terjemahannya saja kita harus membayarnya.
Kembali lagi ke pandangan saya tentang pesan (artikel) ‘Batik dan Kasih Ibu’ di atas. Dibajak! Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata
itu? Tidak ada yang luput dari pembajakan di negeri kaya ini. Semua serba
bajakan, bahkan hampir saja kita rasakan merdeka bajakan kala Orde Baru silam.
Lantas, apa yang kita punya? Banyak, saya menjawab sangat teramat banyak
sekali. Setiap selangkah kita berjalan dari Sabang sampai Merauke, coba tanyakan
pada tanah-tanah yang dipijak. Karena alasan apa negeri ini dijajah dulunya? Lantas, mengapa sepanjang
jalan Braga di Bandung, kita sanjung-sanjungkan bangunan penjajah. Setinggi-tingginya
menara di Jakarta Pusat dan Selatan sekarang, kita hanya bisa tampil sok elite
dari baris kemacetan Ibukota. Lalu, pernahkah kita mengabadikan senja di
hamparan para makam pahlawan? Saya rasa kita lupa karya patung tokoh para pejuang di
perempatan jalan.
Selain batik, apa sebelumnya kita mampu pertahankan bahasa
Indonesia di mata internasional? Tidak lebih dari sikap sok cuek dan merasa
keren dengan sapaan ‘Bro, Sista, Boy, ataupun Guys!’ daripada ‘Bang, Sampeyan,
Neng, Mpok maupun Saudara dan Kawan’. Seakan lelucon memang, tetapi apa yang
terjadi ke depan? Nasib bahasa kebanggaan kita akan melebur sendiri sebatas
pelajaran di sekolah dasar. Mungkin akan setragis bahasa Melayu di negara
tetangga Singapura. Alamak! Janganlah sampai rupiah dikoyak dollar yang karena hampir
seluruh Eropa menggunakannya. Sekarang kita tertawa bangga, besok kita menangis
karena kehilangan jati diri kita.
Ukiran-ukiran indah di lembaran kain itu, kini bukan hanya
kita yang miliki rakaian anggunnya. Pernah saya menemukan penjual batik yang
menawarkan dagangannya begini, “Bos, mampir! Ini ada batik Cina yang baru
nyampe,” Sejenak, saya terkejut bukan main. Batik Cina? Mengapa tidak batik
Inggris saja sekalian! Itu jelas-jelas punya bangsa kita! Bahkan teman saya
yang berkebangsaan Amerika juga mengakuinya, bahwa batik adalah warisan
Indonesia untuk dunia. Lah, apa? Mau dibawa ke mana muka kita? Bisnis sudah
menjadi senjata penjajah di negeri ini. Tidak hanya sejarah, budaya juga sudah
banyak yang kabur dari tanah kelahirannya. Kalau boleh jujur, saya malu ketika
mendengar tarian 'Seudati dan Saman' lebih dikenal di New York daripada di Jakarta. Spontan saya melirih doa dalam hati, “Tuhan! Jangan kutuk kami dengan hadiah yang tidak kami
ketahui,”
Sejauh ini, saya melihat bangsa kita punya budaya yang cukup
berpotensial untuk kejayaan Indonesia tercinta. Pasrah, bukan itu yang
seharusnya dibanggakan. Apalagi sampai harus mengeklaim korupsi sebagai tradisi
kita. Muka tebal! Korupsi adalah aib, terlalu banyak yang kelaparan di negeri
ini. Tingkat yang bersenang di kursinya saja butuh makan, apalagi yang sedang
menguras keringat di pingiran jalan. Ini mempertandakan bahwa negara ini tidak
cukup makmur untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalih-dalih kita punya tanah yang
subur, pejuang kita banyak yang disanjung-sanjung. Cerita berkembang dari zaman
nenek moyang sampai anak cucu. Cukup bangga yang telah tiada, namun dilupakan
sejak sebotol Djack Daniel dipandang lebih hebat dari segelas bandrek.
Bukan hanya itu, kita juga kerapkali mencium dan
mempesonakan diri dengan minyak wangi yang dikirim dari luar negeri. Padahal kita
tahu, bahan baku parfum ada yang terbuat dari batang serai, dan tumbuhan itu
kebanyakan di-ekspor dari negara kita. Lantas, dari sudut mana saya menerawang
potensial kemakmuran negeri ini dari segi sejarah dan budaya? Semua terletak di
dada kita. Keris Pangeran Diponegoro akan membelah dunia ini menjadi sepotong kejayaan
untuk negeri Nusantara. Golok Pattimura akan menggorok leher internasional untuk
jatah Indonesia di meja dunia. Suara lantang Soekarno juga akan mengipas
lantang telinga-telinga asing untuk kehormatan bangasa kita tercinta ini.
Bagaimana caranya? Tinggal kepercayaan yang seharusnya kita pertanyakan. Selepas
itu sejarah akan mengibarkan merah putih lagi, sebangga kain pertama yang jahit
Ibu Fatmawati kala pertama merdeka.
Di toko buku atau perpustakaan umum, sekenal apa dengan
negara ini? Seakrab apa kita dengan bangsa ini? Sepeduli apa kita dengan tanah
ini? Saya menangis kala menyingkapi budaya-budaya kita yang diatasnamakan
bangsa lain. Selebih itu apa? Belum ada yang segagah rakyat Aceh yang membunuh
Kohler halaman di masjid Raya Baiturrahman silam. Tidak ada lagi seberani Soekarno
menantang penjajahan di muka bumi ini. Belum juga kita temukan jiwa-jiwa yang
keras dari lirik-lirik lagu nasional. Perang! Ini bukan perang ataupun
pembunuhan lagi. Ini sudah melebihi kita yang sibuk menelan daging ayam impor
daripada mengasinkan telur bebek kampung.
Mau tidak mau, malu harus malu, semua sudah diracuni
media-media yang menjadi wabah penyakit moral. Sehingga seni yang seharusnya
menjadi senjata, kini berubah posisi sebagai pemuas nafsu. Sehingga budaya yang
seharusnya mengimbangi surga, terpaksa harus berganti dengan aib-aib yang
perih. Sejarah yang mengibar seiring upacara Agustus pun koyak seiring lembaran
kusam yang dimakan waktu. Perkara bersilih bencana, belum juga kelar rencana
meraih kemerdekaan yang sepantasnya. Ladang sejarah seluas langit, budaya
terwariskan kian dikenal. Namun sayang, terpaksa harus kembali ditunda sebab
muncul lagi yang lebih baru. Salah menyalahkan lebih seru, kritik mengomentari,
kemudian yang lebih berkuasa tidak menyingkapi. Sudahlah, Bung! Sampai kapan
kita membiarkan waktu mengajari kita membaca serak-serak debu jalanan?
“Apakah
Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai
bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai
satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato
HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno)
Salam Indonesia!
Bandung, Januari 2014
Referensi pendukung:
- Foto/gambar: google .com
-Video: youtube.com
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”
Referensi pendukung:
- Foto/gambar: google .com
-Video: youtube.com
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”
6 komentar
ulasan menarik dan tegas, semoga mendapat nilai besar dalam lomba ini (h)
ReplyDeleteAllahumma Amin.. :)
Delete"Buah pemikiran yang tak terelakkan. realita lewat dan tak terhentikan. mari kita hentikan!". bagus neng pemikiramu, berbagilah komentar dengan ini neng >> http://wp.me/p4cs92-3Q
ReplyDeleteNeng siapa?? :-?
DeleteBaru baca. Bagus Ai. Kita memang bangsa yang tak punya muka. Ayo kita pasang lagi muka kita.
ReplyDeletesudah seharusnya, negeri ini bisa berbangga dengan yang kita punya..
DeleteSalam Indonesia! Merdeka!